Jumat, 07 Februari 2020

Februari 07, 2020

REALITA PEMBERITA INJIL GKI DI TANAH PAPUA
Pdt. Yemima Krey-Mirino, STh
(Mantan Wakil Ketua BP Am SInode GKI Di Tanah Papua, periode 2011-2016)

Pengantar
Materi “Realita Kehidupan Para Pemberita Injil” yang saya sampaikan dalam konferensi ini, merupakan topik yang membicarakan tentang kenyataan hidup para pelayan, ujung tombak pekabaran Injil GKI Di Tanah Papua. Muda-mudahan materi ini dapat menambah wawasan Anda.
Ada perbedaan hidup antara para pekabar Injil di kota dengan mereka yang di gunung, lembah, ngarai, sungai,  dan pesisir pantai. Tetapi, perbedaan itu bukannya membuat sebuah partisi, melainkan mengikat kita dalam sebuah pekerjaan Tuhan yang holistis dan terpadu. Melalui Konferensi Misi Pekabaran Injil Kedua ini kita akan dipimpin Roh Kudus untuk memberikan solusi misi dalam gereja kita.
Pekabaran Injil merupakan tanggung jawab bersama, dan karenanya perlu diseriusi oleh kita. Sejak waktu lalu hingga sekarang ini sering kita memperingati hari lahirnya Pekabaran Injil di tanah Papua, yang kini mencapai 158 tahun. Pekabaran Injil di Tanah Papua bukan miliki manusia Papua, melainkan Tuhan. Dan hasil pekabaran Injil itu sendiri telah melahirkan Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua,  setelah 101 tahun zending di tanah ini.
Memasuki era modern saat ini, ada tantangan besar yang di hadapi gereja kita, yaitu realita hidup pekerjaan pekabaran  Injil itu. Inilah yang akan dibicarakan pada kesempatan ini.
Hakekat panggilan Pekerja Gereja
Kita perlu memahami tentang realita pekerja gereja, yang pada hakekat berdasar pada Matius 28 : 19 – 20, “Karena itu pegilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus...”  Kemudian lihat juga Yohanes 17:20-21, “Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya... supaya mereka semua menjadi satu... supaya dunia percaya, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku.”  Ini merupakan hakekat panggilan gereja untuk tetap melaksanakan Amanat Agung Tuhan Yesus Kristus, yaitu memberitakan Injil kepada semua orang, demi sebuah persekutuan besar yang diikat oleh ikatan Kasih Allah, di antara semua orang yang telah menjadi percaya pada Kristus. Dengan begitu, lewat kesaksian, persekutuan dan pelayanan gereja, dunia percaya Yesus Kristus itu adalah Tuhan dan Juruselamat.
Perkataan Yesus di atas merupakan kekuatan bagi persekutuan orang-orang percaya di dalam dunia, yang dikenal Gereja (the power of church). Gereja lahir dan bertumbuh tidak terlepas dari sebuah proses Misi Allah, yang dalam kaitannya dengan janji Tuhan bahwa “Sebab bagi kamulah janji itu dan bagi anak-anakmu dan bagi orang yang masih jauh, yaitu sebanyak yang akan dipanggil oleh Tuhan Allah kita” (Kis. 2:23). Semua ini dalam sorotan pelaksanaan tugas membuat orang menjadi murid Kristus.
Mebuat orang menjadi murid Kristus berarti menjadikan orang lain memiliki pengetahuan tentang Kristus, dan pengetahuan itu memberikan perubahan dalam perilaku, dan perilaku itu akan membuat suatu sorotan terang yang memberikan perubahan dalam suatu komunitas. Itu tugas kita. Dari mulut kita memberitakan firman maka kita telah bekerja menjadikan orang lain menjadi murid Kristus. Sehingga semua denyut jantung GKI Di Tanah Papua prinsipnya bekerja menjadikan orang murid Kristus secara konsisten dan dinamis. Pula, menjadikan orang murid Kristus adalah untuk memilki perilaku Kristus. Dengan memiliki perilaku Kristus maka para pekerja di lembaga-lembaga pendidikan gereja: STT I.S. Kijne, STIE Ottow-Geissler (sekarang Universitas Ottow-Geissler), Yayasan Pendidikan Kristen (YPK) akan menjadikan orang menjadi murid Kristus. Lembaga-lembaga pendidikan gereja ini tidak saja menciptakan orang berhasil dalam dunia pengetahuan, tetapi jauh dari pada itu ialah menjadikan orang itu menjadi murid Kristus yang sejati.
Ada seorang yang sempat berkata begini “bahwa harus ada tugas untuk memuridkan dunia ini.” Okelah konsep berpikir seperti itu sah-sah saja. Tetapi, bagi saya, kita perlu mengerti hakekat pemuridan barulah bisa memuridkan dunia ini. Yang dimaksud dengan dunia di sini ialah manusia. Nah, Lembaga-lembaga pendidikan yang dihadirkan oleh gereja pada intinya dipakai untuk memuridkan orang menjadi murid Kristus. Pekerjaan pemuridan bukan saja ada di lapangan jemaat, klasis dan sinode, tetapi juga ada di setiap lembaga-lembaga gereja tadi. Artinya lembaga-lembaga pendidikan tersebut dipakai sebagai alat untuk mencapai maksud Tuhan. Saya berharap kita yang bekerja di GKI ini amat perlu melihat hal ini secara baik, demi pekerjaan gereja yang lebih maju dan misioner. Orang Papua mesti mengerti Tuhan dan mengalami janji Tuhan, sebagaimana janji yang diberikan Allah bagi Abraham.  
Tahun 1956 Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua hadir dengan mottonya, “Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang.” (Ef. 5:8). Saya garisbawahi kalimat “hiduplah sebagai anak-anak terang!” Kalimat ini bukan sekedar formula dari para pendiri gereja ini dan kemudian menyusunnya sebagai motto bagi GKI Di Tanah Papua, tetapi bertolak dari konteks Papua itu sendiri. Karena medan dan konteks pekabaran Injil yang dihadapi gereja itulah, maka Efesus 5:8 diangkat menjadi motto utama dalam segala hidup dan karya GKI Di Tanah Papua. Kegelapan bisa dialami karena orang tidak punya pengetahuan. Gereja sudah bekerja membuat pemulihan pada orang-orang di Papua; mencelikkan matanya sehingga ia tahu membaca dan menulis. Tahu membaca dan menulis bukan sekedar hanya untuk mengerti Alkitab, (itu memang penting untuk belajar-mengajar tentang Yesus), tetapi dengan melek huruf orang akan bisa bertindak keluar dan melakukan perubahan. Inilah tindakan memuridkan orang menjadi murid Kristus. “Pendidikan itu adalah sebuah tiket untuk seseorang naik di dalam pesawat perubahan,” sebuah kalimat yang sering saya gunakan bila berbicara soal pemuridan gereja. Jadi, bila kita tidak memiliki tiket pendidikan maka sudah tentu kita tidak bisa naik di atas pesawat perubahan itu. Mau mencapai gelar S-1, S-2, S-3 dan kemudian disebut sebagai professor tidak mungkin tidak memiliki tiket pendidikan itu. Sejak dulu sampai sekarang ini GKI Di Tanah Papua punya pikiran seperti itu. Anak-anak di Papua harus disekolahkan demi sebuah perubahan di atas tanahnya.
Pekabaran Injil pada prinsipnya dikerjakan dalam kegelapan. Kegelapan itu terkait dengan kehidupan lama yaitu kekafiran. Perlu diingat bahwa adat tidak mendapatkan suatu dinamika perubahan untuk yang menciptakan kepastian hidup atas komunitas adat itu sendiri. Adat tidak mempunyai kekuatan memberikan suatu nilai tambah untuk kepastian hidup pada penghuni komunitas tertentu. Karena dengan memiliki keterbatasan dalam pendidikan, maka orang tidak punya pengetahuan sehingga ia tidak tampil menggerakkan adat dan kebiasaan-kebiasaannya untuk mempunyai nilai plus perubahan suatu komunitas.
Sebab itu dalam sejarah gereja GKI Di Tanah Papua, baik di masa zending maupun di masa sekarang ini, Injil diberitakan disitulah pendidikan dan kesehatan dijalankan. Medan pekerjaan kita sarat dengan berbagai penyakit malaria, luka borok, kaki gajah, kurap, panu, kusta, dan sekarang HIV-AIDS. Belum lagi ditambah dengan kekuatan adat, yang tidak dapat dipungkiri, di dalamnya dibungkus kekuatan setan, suanggi; semuanya saling-seiring. Lalu, medan kerja kita yang berat pun menjadi ancaman bagi pekabaran Injil. Walaupun kondisi seperti itu, kita tetap mempunyai keyakinan dan harapan bahwa hanya di dalam Kristus kita dapat dibebaskan dari semua hambatan tadi, karena Injil adalah  kekuatan Allah.
Perubahan Karakter
Pekerja-pekerja gereja yang notabene sebagai pemberita Injil pun perlu ada berubah. Jangan beranggapan bahwa orang yang bekerja dalam gereja tidak harus berubah. Ia juga adalah manusia, punya kelemahan yang perlu diubah. Sebagai pekerja gereja, ia harus lebih dulu berubah barulah bisa mengubah orang lain. Setelah ia berubah menjadi baik maka perubahan itu pun akan terasa dalam kehidupan umat yang dibinanya. Perubahan dari kegelapan ke terang merupakan sebuah proses yang tidak statis, melainkan terus-menerus terjadi (dinamis), baik itu di kalangan para pekerja gereja maupun umat dari gereja itu. Dua-duanya selalu melakukan perubahan dalam gereja ini.
Secara khusus bagi para pekerja Tuhan dalam gereja ini, baik itu pada aras jemaat, klasis dan sinode, perubahan merupakan sebuah tujuan dalam pemberitaan Injil. Dia hadir dan ditempatkan Tuhan dalam gereja untuk membebaskan umatnya dari kegelapan, dan bukannya ia hadir untuk memberikan pekerjaan rumah bagi umatnya. Yang biasanya terjadi di kalangan kita ialah bukannya membebaskan umat dari kegelapan, melainkan memberi pekerjaan rumah kepada umat.  Iya, bukan?
Pekerja dalam gereja haruslah menunjukkan pribadinya sebagai seorang pekerja yang berkaraktera terang, sebab Tuhan yang memanggil dan menempatkan kita dalam gereja ini adalah Terang. Karenanya setiap pekerja baik yang ditempatkan dalam setiap lembaga gereja, baik itu di STT, USTJ, YPK,  Sinode, Klasis dan Jemaat, semuanya harus menjadi pekerja terang. Begitu pula pada setiap jabatan fungsi gereja: Penatua, Syamas, Guru Jemaat, Penginjil dan Pendeta, semua harus menampilkan dirinya sebagai pembawa terang. Pembawa terang itu tidak ditentukan oleh titel kesarjanaannya, melainkan berdasarkan pada pengetahuan akan Yesus Kristus. Sehingga jemaat yang dibina itu akan menjadi agen terang bagi dunia sekitarnya, dunia dimana  ia hidup dan berkarya.
Tolong diperhatikan apa yang tadi disebutkan di atas tentang hakikat pekerja gereja itu. Terang harus terpancar dari diri kita untuk mengubah dunia sekitar. Apa hal itu terlihat pada diri kita masing-masing, atau tidak? Kenyataannya prinsip itu tidak lagi utuh, kan? Mengapa? Karena masing-masing pekerja mulai mengesampingkan prinsip yang utama tadi. Akibatnya,  ada pekerja tidak mau pergi ke tempat agak jauh untuk memberitakan Injil, karena banyak memiliki alasan: istrilah, suamilah, anak-anaklah, sekolahlah, dan lain sebagainya, sehingga pekabaran Injil menjadi terbengkalai. Bagi saya, inilah persoalan yang perlu kita pecahkan bersama-sama
Penutup
Berada pada zaman yang semakin maju, tantangan semakin besar pula dalam lapangan penginjilan GKI Di Tanah Papua.  Perubahan politik begitu signifikan di kalangan orang Papua, sehingga ada sejumlah orang pintar Papua terpaksa tergiring yang masuk di hutan, demi sebuah perjuagan. Sebenarnya, GKI Di Tanah Papua tidak mengajar dan memasukan orang-orang itu ke dalam hutan, melainkan mengajari mereka untuk tetap aktif, kritis dan tegas dalam memperjuangkan jati diri mereka. Nah, tugas para pekerja gereja adalah wajib menahan dan mengubah mereka menjadi baik. Siapa yang harus melakukan tugas itu? Siapa lagi, kalau bukan oleh para penatua, syamas, guru jemaat, penginjil dan pendeta. Apa pun alasannya, pekerja-pekerja gereja tersebut wajib melakukannya. Ini merupakan tanggung jawab kita semua, dan Saya paham, kalau pekerjaan ini tidaklah mudah dikerjakan sendiri; kita perlu bekerja bersama demi melaksanakan pekerjaan Tuhan yang diembankan di atas pundak kita masing-masing. “Apakah GKI Di Tanah Papua sudah hadir dan berperan sebagai alat perubahan bagi tanah Papua, atau belum? Kalau hari ini Papua belum berubah, apakah GKI Di Tanah Papua juga turut ikut membuat Papua tidak berubah, ataukah ia ikut mengubah tanah ini?” Sebuah pertanyaan yang sifatnya praktis dan imanis, yang mungkin bagi kita sulit untuk dijawab, tetapi apa pun alasannya, komitmen menginjili untuk mengubah Papua menjadi prioritas kita semua.
Demikian, Tuhan Yesus Kristus, Kepala Gereja kita, memberkati dan menuntun kita dalam penginjilan gereja ini/Syalom!!!!!


Materi ini disampaikan pada Konferensi Pekabaran Injil ke-II GKI Di Tanah Papua,

1-3 Februari 2013 di Sorong-Papua Barat.
 

0 komentar:

Posting Komentar