REALITA PEMBERITA INJIL GKI DI TANAH
PAPUA
Pdt. Yemima
Krey-Mirino, STh
(Mantan Wakil Ketua BP Am SInode GKI Di Tanah Papua, periode 2011-2016)
(Mantan Wakil Ketua BP Am SInode GKI Di Tanah Papua, periode 2011-2016)
Pengantar
Materi “Realita
Kehidupan Para Pemberita Injil” yang saya sampaikan dalam konferensi ini,
merupakan topik yang membicarakan tentang kenyataan hidup para pelayan, ujung
tombak pekabaran Injil GKI Di Tanah Papua. Muda-mudahan materi ini dapat
menambah wawasan Anda.
Ada perbedaan hidup
antara para pekabar Injil di kota dengan mereka yang di gunung, lembah, ngarai,
sungai, dan pesisir pantai. Tetapi,
perbedaan itu bukannya membuat sebuah partisi,
melainkan mengikat kita dalam sebuah pekerjaan Tuhan yang holistis dan terpadu.
Melalui Konferensi Misi Pekabaran Injil Kedua ini kita akan dipimpin Roh Kudus
untuk memberikan solusi misi dalam gereja kita.
Pekabaran Injil merupakan
tanggung jawab bersama, dan karenanya perlu diseriusi oleh kita. Sejak waktu
lalu hingga sekarang ini sering kita memperingati hari lahirnya Pekabaran Injil
di tanah Papua, yang kini mencapai 158 tahun. Pekabaran Injil di Tanah Papua
bukan miliki manusia Papua, melainkan Tuhan. Dan hasil pekabaran Injil itu
sendiri telah melahirkan Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua, setelah 101 tahun zending di tanah ini.
Memasuki era modern
saat ini, ada tantangan besar yang di hadapi gereja kita, yaitu realita hidup pekerjaan
pekabaran Injil itu. Inilah yang akan dibicarakan
pada kesempatan ini.
Hakekat
panggilan Pekerja Gereja
Kita perlu memahami
tentang realita pekerja gereja, yang pada hakekat berdasar pada Matius 28 : 19
– 20, “Karena itu pegilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah
mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus...” Kemudian lihat juga Yohanes 17:20-21, “Dan
bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang
percaya... supaya mereka semua menjadi satu... supaya dunia percaya, bahwa
Engkau yang telah mengutus Aku.” Ini
merupakan hakekat panggilan gereja untuk tetap melaksanakan Amanat Agung Tuhan
Yesus Kristus, yaitu memberitakan Injil kepada semua orang, demi sebuah persekutuan
besar yang diikat oleh ikatan Kasih Allah, di antara semua orang yang telah
menjadi percaya pada Kristus. Dengan begitu, lewat kesaksian, persekutuan dan
pelayanan gereja, dunia percaya Yesus Kristus itu adalah Tuhan dan Juruselamat.
Perkataan Yesus di
atas merupakan kekuatan bagi persekutuan orang-orang percaya di dalam dunia,
yang dikenal Gereja (the power of church).
Gereja lahir dan bertumbuh tidak terlepas dari sebuah proses Misi Allah, yang
dalam kaitannya dengan janji Tuhan bahwa “Sebab bagi kamulah janji itu dan bagi
anak-anakmu dan bagi orang yang masih jauh, yaitu sebanyak yang akan dipanggil
oleh Tuhan Allah kita” (Kis. 2:23). Semua ini dalam sorotan pelaksanaan tugas membuat
orang menjadi murid Kristus.
Mebuat orang menjadi
murid Kristus berarti menjadikan orang lain memiliki pengetahuan tentang
Kristus, dan pengetahuan itu memberikan perubahan dalam perilaku, dan perilaku
itu akan membuat suatu sorotan terang yang memberikan perubahan dalam suatu
komunitas. Itu tugas kita. Dari mulut kita memberitakan firman maka kita telah
bekerja menjadikan orang lain menjadi murid Kristus. Sehingga semua denyut jantung GKI Di Tanah Papua prinsipnya
bekerja menjadikan orang murid Kristus secara konsisten dan dinamis. Pula,
menjadikan orang murid Kristus adalah untuk memilki perilaku Kristus. Dengan
memiliki perilaku Kristus maka para pekerja di lembaga-lembaga pendidikan
gereja: STT I.S. Kijne, STIE Ottow-Geissler (sekarang Universitas
Ottow-Geissler), Yayasan Pendidikan Kristen (YPK) akan menjadikan orang menjadi
murid Kristus. Lembaga-lembaga pendidikan gereja ini tidak saja menciptakan
orang berhasil dalam dunia pengetahuan, tetapi jauh dari pada itu ialah
menjadikan orang itu menjadi murid Kristus yang sejati.
Ada seorang yang sempat
berkata begini “bahwa harus ada tugas untuk memuridkan dunia ini.” Okelah
konsep berpikir seperti itu sah-sah saja. Tetapi, bagi saya, kita perlu
mengerti hakekat pemuridan barulah bisa memuridkan dunia ini. Yang dimaksud
dengan dunia di sini ialah manusia. Nah, Lembaga-lembaga pendidikan yang
dihadirkan oleh gereja pada intinya dipakai untuk memuridkan orang menjadi
murid Kristus. Pekerjaan pemuridan bukan saja ada di lapangan jemaat, klasis
dan sinode, tetapi juga ada di setiap lembaga-lembaga gereja tadi. Artinya
lembaga-lembaga pendidikan tersebut dipakai sebagai alat untuk mencapai maksud Tuhan. Saya berharap kita yang bekerja
di GKI ini amat perlu melihat hal ini secara baik, demi pekerjaan gereja yang lebih
maju dan misioner. Orang Papua mesti mengerti Tuhan dan mengalami janji Tuhan, sebagaimana
janji yang diberikan Allah bagi Abraham.
Tahun 1956 Gereja
Kristen Injili Di Tanah Papua hadir dengan mottonya, “Memang dahulu kamu adalah
kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang.” (Ef.
5:8). Saya garisbawahi kalimat “hiduplah sebagai anak-anak terang!” Kalimat ini
bukan sekedar formula dari para pendiri gereja ini dan kemudian menyusunnya
sebagai motto bagi GKI Di Tanah Papua, tetapi bertolak dari konteks Papua itu
sendiri. Karena medan dan konteks pekabaran Injil yang dihadapi gereja itulah,
maka Efesus 5:8 diangkat menjadi motto utama dalam segala hidup dan karya GKI
Di Tanah Papua. Kegelapan bisa dialami karena orang tidak punya pengetahuan.
Gereja sudah bekerja membuat pemulihan pada orang-orang di Papua; mencelikkan
matanya sehingga ia tahu membaca dan menulis. Tahu membaca dan menulis bukan
sekedar hanya untuk mengerti Alkitab, (itu memang penting untuk
belajar-mengajar tentang Yesus), tetapi dengan melek huruf orang akan bisa
bertindak keluar dan melakukan perubahan. Inilah tindakan memuridkan orang
menjadi murid Kristus. “Pendidikan itu adalah sebuah tiket untuk seseorang naik di dalam pesawat perubahan,” sebuah
kalimat yang sering saya gunakan bila berbicara soal pemuridan gereja. Jadi,
bila kita tidak memiliki tiket
pendidikan maka sudah tentu kita tidak bisa naik di atas pesawat perubahan itu.
Mau mencapai gelar S-1, S-2, S-3 dan kemudian disebut sebagai professor tidak
mungkin tidak memiliki tiket pendidikan itu. Sejak dulu sampai sekarang ini GKI
Di Tanah Papua punya pikiran seperti itu. Anak-anak di Papua harus disekolahkan
demi sebuah perubahan di atas tanahnya.
Pekabaran Injil pada
prinsipnya dikerjakan dalam kegelapan. Kegelapan itu terkait dengan kehidupan
lama yaitu kekafiran. Perlu diingat bahwa adat tidak mendapatkan suatu dinamika
perubahan untuk yang menciptakan kepastian
hidup atas komunitas adat itu sendiri. Adat tidak mempunyai kekuatan
memberikan suatu nilai tambah untuk
kepastian hidup pada penghuni komunitas tertentu. Karena dengan memiliki
keterbatasan dalam pendidikan, maka orang tidak punya pengetahuan sehingga ia
tidak tampil menggerakkan adat dan kebiasaan-kebiasaannya untuk mempunyai nilai
plus perubahan suatu komunitas.
Sebab itu dalam
sejarah gereja GKI Di Tanah Papua, baik di masa zending maupun di masa sekarang
ini, Injil diberitakan disitulah pendidikan dan kesehatan dijalankan. Medan
pekerjaan kita sarat dengan berbagai penyakit malaria, luka borok, kaki gajah,
kurap, panu, kusta, dan sekarang HIV-AIDS. Belum lagi ditambah dengan kekuatan adat,
yang tidak dapat dipungkiri, di dalamnya dibungkus kekuatan setan, suanggi;
semuanya saling-seiring. Lalu, medan kerja kita yang berat pun menjadi ancaman
bagi pekabaran Injil. Walaupun kondisi seperti itu, kita tetap mempunyai
keyakinan dan harapan bahwa hanya di dalam Kristus kita dapat dibebaskan dari
semua hambatan tadi, karena Injil adalah
kekuatan Allah.
Perubahan
Karakter
Pekerja-pekerja
gereja yang notabene sebagai pemberita Injil pun perlu ada berubah. Jangan
beranggapan bahwa orang yang bekerja dalam gereja tidak harus berubah. Ia juga
adalah manusia, punya kelemahan yang perlu diubah. Sebagai pekerja gereja, ia
harus lebih dulu berubah barulah bisa mengubah orang lain. Setelah ia berubah
menjadi baik maka perubahan itu pun akan terasa dalam kehidupan umat yang
dibinanya. Perubahan dari kegelapan ke terang merupakan sebuah proses yang
tidak statis, melainkan terus-menerus terjadi (dinamis), baik itu di kalangan
para pekerja gereja maupun umat dari gereja itu. Dua-duanya selalu melakukan
perubahan dalam gereja ini.
Secara khusus bagi
para pekerja Tuhan dalam gereja ini, baik itu pada aras jemaat, klasis dan
sinode, perubahan merupakan sebuah tujuan dalam pemberitaan Injil. Dia hadir
dan ditempatkan Tuhan dalam gereja untuk membebaskan umatnya dari kegelapan,
dan bukannya ia hadir untuk memberikan pekerjaan
rumah bagi umatnya. Yang biasanya terjadi di kalangan kita ialah bukannya
membebaskan umat dari kegelapan, melainkan memberi pekerjaan rumah kepada umat. Iya, bukan?
Pekerja dalam gereja
haruslah menunjukkan pribadinya sebagai seorang pekerja yang berkaraktera terang,
sebab Tuhan yang memanggil dan menempatkan kita dalam gereja ini adalah Terang.
Karenanya setiap pekerja baik yang ditempatkan dalam setiap lembaga gereja,
baik itu di STT, USTJ, YPK, Sinode,
Klasis dan Jemaat, semuanya harus menjadi pekerja terang. Begitu pula pada
setiap jabatan fungsi gereja: Penatua,
Syamas, Guru Jemaat, Penginjil dan Pendeta, semua harus menampilkan dirinya
sebagai pembawa terang. Pembawa terang itu tidak ditentukan oleh titel
kesarjanaannya, melainkan berdasarkan pada pengetahuan akan Yesus Kristus.
Sehingga jemaat yang dibina itu akan menjadi agen terang bagi dunia sekitarnya, dunia dimana ia hidup dan berkarya.
Tolong diperhatikan
apa yang tadi disebutkan di atas tentang hakikat pekerja gereja itu. Terang
harus terpancar dari diri kita untuk mengubah dunia sekitar. Apa hal itu
terlihat pada diri kita masing-masing, atau tidak? Kenyataannya prinsip itu tidak
lagi utuh, kan? Mengapa? Karena masing-masing pekerja mulai mengesampingkan
prinsip yang utama tadi. Akibatnya, ada
pekerja tidak mau pergi ke tempat agak jauh untuk memberitakan Injil, karena
banyak memiliki alasan: istrilah, suamilah, anak-anaklah, sekolahlah, dan lain
sebagainya, sehingga pekabaran Injil menjadi terbengkalai. Bagi saya, inilah
persoalan yang perlu kita pecahkan bersama-sama
Penutup
Berada pada zaman
yang semakin maju, tantangan semakin besar pula dalam lapangan penginjilan GKI
Di Tanah Papua. Perubahan politik begitu
signifikan di kalangan orang Papua, sehingga ada sejumlah orang pintar Papua
terpaksa tergiring yang masuk di hutan, demi sebuah perjuagan. Sebenarnya, GKI Di
Tanah Papua tidak mengajar dan memasukan orang-orang itu ke dalam hutan,
melainkan mengajari mereka untuk tetap aktif, kritis dan tegas dalam
memperjuangkan jati diri mereka. Nah, tugas para pekerja gereja adalah wajib
menahan dan mengubah mereka menjadi baik. Siapa yang harus melakukan tugas itu?
Siapa lagi, kalau bukan oleh para penatua, syamas, guru jemaat, penginjil dan
pendeta. Apa pun alasannya, pekerja-pekerja gereja tersebut wajib melakukannya.
Ini merupakan tanggung jawab kita semua, dan Saya paham, kalau pekerjaan ini
tidaklah mudah dikerjakan sendiri; kita perlu bekerja bersama demi melaksanakan
pekerjaan Tuhan yang diembankan di atas pundak kita masing-masing. “Apakah GKI
Di Tanah Papua sudah hadir dan berperan sebagai alat perubahan bagi tanah
Papua, atau belum? Kalau hari ini Papua belum berubah, apakah GKI Di Tanah
Papua juga turut ikut membuat Papua tidak berubah, ataukah ia ikut mengubah
tanah ini?” Sebuah pertanyaan yang sifatnya praktis dan imanis, yang mungkin
bagi kita sulit untuk dijawab, tetapi apa pun alasannya, komitmen menginjili
untuk mengubah Papua menjadi prioritas kita semua.
Demikian, Tuhan
Yesus Kristus, Kepala Gereja kita, memberkati dan menuntun kita dalam
penginjilan gereja ini/Syalom!!!!!
Materi ini disampaikan pada Konferensi Pekabaran Injil ke-II GKI Di
Tanah Papua,
1-3
Februari 2013
di Sorong-Papua Barat.
0 komentar:
Posting Komentar