MISI PEKABARAN INJIL GKI DI TANAH PAPUA
DARI SUDUT PANDANG DIAKONIA[1]
(Oleh: Pdt.
DR. Anthon Rumbewas, STh, M.Teol.)[2]
“Gereja yang hidup adalah gereja yang
memberitakan Injil dan membaharui kehidupan”
Dan
sebaliknya:
“Jika anda bertanya kepada seseorang, mengapa
anda tidak makan?
maka anda adalah seorang ateis. Tetapi jika
anda memberi makan seseorang,
maka anda adalah seorang hamba yang
melayani”
1.
PENGANTAR
Pdt. DR. Anthon Rumbewas, M.Theol |
Kemudian
dalam hubungan dengan pokok bahasan Misi
Pekabaran Injil GKI Di Tanah Papua dari sudut pandang diakonia, maka ada
dua pertanyaan yang menunjuk pada permasalahan teologis maupun sosialnya
adalah: (1) sejauhmana kita memahami hubungan fungsional antara misi, pekabaran
Injil dan diakonia? (2) dan bagaimana hubungan ini dikonkritkan? Jika kita
tidak mengerti istilah serta relasi pada judul yang merupakan pokok pembicaraan
kita, maka harapan untuk merumuskan teologi misi, pekabaran Injil dan diakonia
dan aktualisasinya dalam konteks Gereja
Kristen Injili tidak akan fungsional.
2. MISI GEREJA DAN PEKABARAN INJIL
2.1. Misi Gereja
Dalam
penggunaannya istilah misi tidak saja dibatasi pada dilingkup agama atau
gereja, tetapi juga untuk aktivitas dan tugas-tugas di bidang politik,
kemasyarakatan, pemerintahan, dan sebagainya. Apabila dipahami dari sudut
Alkitab, maka istilah misi berasal dari kata Latin mitto atau missio yang
artinya “kirim atau mengutus,” ini menunjuk tugas seseorang atau kelompok yang
di utus keluar. Di dalam RSV[3]
Perjanjian Lama, bentuk ini hanya dalam 1 Samuel 15:18,20 sebagai terjemahan
dari bahasa Ibrani derek, artinya
“jalan, bepergian.” Di dalam Perjanjian Baru, RSV penggunaan misi untuk
pelayanan Injil di dalam “perkataan dan perbuatan.” Di dalam Kisah Para Rasul
12:25, misi diterjemakan dari bahasa Yunani diakonia,
artinya “pelayanan atau melayani” (Bromiley 1986:384). Selain itu, misi
adalah suatu kehidupan yang menyambut maksud Allah untuk manusia dan untuk
semua ciptaan (Nico Gara 2000:119). Atau misi dapat dipahami pula sebagai
respons terhadap panggilan untuk melakukan amanat Allah.
Dengan demikian, misi dari sudut pandang
Alkitab adalah aktivitas Allah: Bapa, Kristus dan Roh Kudus yang ditujukan
kepada dunia dan mengikut-sertakan gereja. Pandangan ini tercermin dalam bahasa
oikumenis, participation in God’s action
in the world’s. Semboyang ini mengungkapkan makna bahwa titik utama bagi
iman Kristen adalah tindakan Allah di dalam dunia, dan bahwa inti tugas Kristen
adalah mengambil bagian atau ikut-serta dalam tindakan Allah itu (L.A.
Hoedemaker 1970:1). Karena itu, gereja yang hadir di dalam dunia adalah tanda
misi atau tanda kehadiran Allah yang mengandung konsep missio Dei ke missiones Dei.[4]
Itulah sebabnya, misi Kristen atau misi gereja hanyalah dilihat dalam rangka
partisipasi dalam misi Allah di dalam sejarah (R.A.D. Siwu:1996:205). Dalam
upaya mencari arti baru bermisi masa kini, maka lahir pendekatan teologis yang
berwawasan “humaniter-antroposentris” yang memberi tekanan pada humanisasi
Allah, yakni Allah yang bekerja di dalam dan lewat setiap kegiatan dan gerakan
untuk kemerdekaan martabat manusia, dan yang berwawasan “kosmis” memberi
penekanan pada makna kosmis dari Kristus, yakni Allah yang menyatakan diri-Nya,
atau kebenaran-Nya, dalam Yesus Kristus tidak hanya ditemukan dalam
kekristenan, tetapi juga dalam agama-agama lain, kebudayaan-kebudayaan setempat
dan ideologi-ideologi.[5]
Jadi pendekatan pertama terkait dengan aspek-aspek sosial dan politik,
sedangkan yang kedua terkait dengan aspek-aspek religius dan ideologis. Namun
keduanya punya tujuan yang sama, yakni memahami misi dengan wawasan misi Allah
di dalam dunia, di dalam sejarah manusia. Akibatnya, misi Allah dilihat sebagai
“tindakan Allah” yang berlangsung dalam sejarah sekuler,[6]
dalam sejarah setiap masyarakat, kebudayaan dan agama, demi keselamatan seluruh
dunia dan umat manusia (h.196-197).
Teolog
Asia yang pertama memberi landasan alkitabiah pada konsep missio Dei adalah Shoki Coe. Dalam presentasi “the Niles Memorial
Lecture” di hadapan Sidang Raya kelima KKA di Singapura 1973 yang berjudul: Across the Frontiers: Text and Context of
Mission, ia mengungkapkan secara sistematis landasan Alkitab yang diyakini
bagi konsep missio Dei. Ia mengatakan
bahwa semua kegiatan misi bukan hanya diuji oleh Allah yang misioner yang
adalah alasan utama misi itu hadir untuk melayani. Atas alasan azasi ini maka
misi masa kini haruslah dipahami dalam kerangka hubungan dialektis antara
“teks” dan “konteks.” Yang ia maksudkan ialah misi Allah hendaknya dipahami
dalam kerangka kehidupan dialektis antara misi Allah yang tertuju pada manusia
pada satu pihak, dan peristiwa historis pada lain pihak. Berangkat dari 1
Timotius 2:3-4, Shoki Coe mengatakan: Dalam Yesus Kristus Allah telah mulai
suatu misi bersama manusia, untuk manusia, agar manusia selamat dan menemukan
pengetahuan yang benar. Yang ia maksudkan ialah, “teks” dari missio Dei adalah kepercayaan bahwa misi
Allah tertuju pada dunia. Allah rela datang ke dunia sebagai manusia, bahkan
hamba atas dasar kasih (Yoh. 3:16). Karenanya, missio Dei adalah juga missio
Christi dalam arti: Allah memberi diri-Nya sendiri bagi dunia lewat Yesus
Kristus, berada dalam sejarah manusia. Di dalam dan lewat konteks historis
inilah missio Dei dan missio Christi berlangsung. Jadi missio Dei berlangsung bukan di dunia
yang abstrak, melainkan di dalam dunia yang nyata (Siwu 197-198). Atas
kenyataan ini, maka gereja dipanggil dan diutus untuk melakukan misi yang
dipercayakan Allah. Dengan begitu adanya missio
ecclesiae (pengutusan oleh gereja). Itulah sebabnya, A.A. van Ruler
mengatakan, Misi harus dilihat sebagai proklamasi kerajaan Allah, yakni
kerajaan Kristus bagi setiap orang dan di setiap waktu (Yohannes Blauw
1962:116). Menurut Karl Barth, Misi dipahami secara sempit berdasarkan asal katanya
berarti “mengutus”, mengutus keluar kepada bangsa-bangsa untuk tujuan memberi
kesaksian tentang Injil, tetapi juga pada saat yang sama meliputi pula tugas
pelayanan (diakonia) dari umat
Kristus secara “holistik” (h.116). Alkitab menjelaskan bahwa proklamasi Injil
di antara bangsa-bangsa hanya dimungkinkan oleh: (a) pengorbanan Yesus Krisus
di salib (By the voluntary sacrifice of
Jesus Christ on the cross). (b) kebangkitan Kristus dari kematian,
melaluinya Ia telah menerima kekuasaan atas dunia ini (By the resurrection of Christ from the dead, through which He has
received the dominion of the world). (c) melalui pemberian Roh Kudus,
memampukan para rasul dan umat Allah untuk bersaksi (Through the gift of the Holy Spirit, which enables the apostles and the
community to witness), (h.104-105).
2.2.
Pekabaran Injil (P.I)
2.2.1. Pemahaman tentang Injil
Sidang Raya VII DGI 1971 di Pematang Siantar
menegaskan bahwa Injil adalah berita kesukaan mengenai pertobatan dan pembaruan
yang tersedia bagi manusia (Mrk.1:15) serta kebebasan, keadilan, kebenaran, dan
kesejahteraan yang dikehendaki Tuhan untuk dunia (Luk.4:18-21); sebagai berita
kesukaan, Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan manusia (Rm.1:16),
(LDKG[7]
h.102). Injil merupakan tawaran kepada manusia, bukan tuntutan, suatu penyataan
Allah, bukan paksaan agar manusia mengusahakan sesuatu. Kristus itulah Injil.
Dialah yang ditawarkan dan dinyatakan Allah kepada kita. Dialah Penyelamat dan
Penebus yang memberi harapan yang hidup bagi dunia (Dorothy L. Marx 1974:42).
Di pihak lain, Injil merupakan deklarasi Allah kepada manusia mengenai
pendamaian. Rasul Paulus menasehati kita agar selalu berkasut “Injil damai
sejahtera”, karena itulah komunikasi Allah kepada umat-Nya. Hal ini sudah
dikemukakan pemazmur dalam Perjanjian Lama, “Aku mau mendengar apa yang hendak
difirmankan Allah, TUHAN...kepada umat-Nya dan kepada orang-orang yang
dikasihi-Nya, supaya jangan mereka kembali kepada kebodohan?” (Mzm.85:9).
Menurut J.L.Ch. Abineno, Injil
pertama-tama berarti: kabar baik, kabar
gembira, kabar kesukaan. Nas, yang mengungkapkan arti ini ialah Yesaya 52:7,
Betapa indahnya kelihatan dari puncak bukit-bukit kedatangan pembawa berita,
yang mengabarkan berita damai dan memberitakan kabar baik, yang mengabarkan
berita selamat dan berkata kepada Sion: “Allahmu itu Raja!” Nas-nas lain yang
sama mengungkapkan arti ini, seperti Mazmur 68:12, tentang kabar baik, Mazmur 96:2, tentang kabar keselamatan dan Nahum 1:15, tentang berita damai sejahtera (1981:31). Dalam Perjanjian Baru, Injil
sering disebut Injil Yesus Kristus atau Injil Kerajaan Allah. Maksud ungkapan
ini ialah, bahwa Yesus Kristus sebagai Raja Mesias bukan saja adalah pembawa Injil, tetapi juga adalah isi Injil. Jadi Injil adalah “kabar baik” tentang keselamatan yang
disediakan Tuhan bagi manusia dan dunia. Di dalamnya manusia dan dunia
mengalami perdamaian, kemerdekaan, keadilan, kebenaran dan kesejahteraan. Injil
adalah kabar kesukaan tentang pemerintahan
Allah oleh kemenangan Yesus Kristus atas dosa dan maut, dan Injil inilah
yang harus diberitakan kepada segala bangsa di dunia (Mat.28:19; Kis.1:8; bnd.
Mat.24:14).
2.2.2. Pekabaran Injil: Suatu Aktifitas
Misi
Dewasa ini tugas pekabaran
Injil sering digugat dan dipersoalkan dalam dunia teologi. Banyak orang merasa
kabur tentang makna pekabaran Injil jaman sekarang. Ada yang berpendapat bahwa
pekabaran Injil tidak sesuai dengan iklim modernisasi masa kini. Tapi kita
harus membedakan antara tindakan pemberitaan sebagai tanggung jawab gereja
sampai pada akhir zaman, dan metode-metode pemberitaan. Perjanjian Baru memakai
dua istilah untuk pemberitaan Injil, (1) kerygma atau pemberitaan dengan
wewenang, dengan kekuasaan-otoritas. (2), euanggelion, kabar baik (Marx, h.40).
Dalam amanat-Nya yang terakhir kepada murid-murid-Nya (Mat.28:19-20), Kristus
tidak memakai kedua istilah ini, melainkan “jadikanlah semua bangsa murid-Ku.”
Sedangkan Markus 16:15 memakai baik kerygma dan euanggelion. Tetapi bagaimana
pun juga, pelaksanaan amanat Kristus harus melalui proses pemberitaan. Secara
alkitabiah, berita Injil merupakan seruan Allah kepada seluruh umat manusia
supaya mereka bersedia didamaikan dengan Allah (2Kor.5:20). Rasul Paulus begitu
merasakan tanggung jawab mengabarkan Injil sehingga ia menggambarkannya sebagai
“utang” yang harus dilunasi terhadap semua bangsa dan golongan (Rm.1:14).
“Celakalah aku jika aku tidak memberitakan Injil” (Kor.9:16). Dan pekabaran
Injil mustahil berhasil tanpa pekerjaan Roh Kudus (Kis.1:8). Menurut petinggi
gereja Anglikan[8]
yang dikutip John Stott, pekabaran Injil berarti: dengan kata dan perbuatan
memperkenalkan kasih Kristus yang disalibkan dan bangkit dalam kuasa Roh Kudus,
sehingga orang bertobat, percaya, dan menerima Kristus sebagai Juruselamat dan
dengan taat melayani Dia sebagai Tuhan dalam persekutuan dengan gereja-Nya
(2008:33).
Gereja Kristen Injil pada
Sidang Sinode XIII di Fak-Fak tahun 1996 telah merumuskan pendirian teologisnya
bahwa ia terpanggil untuk terus memberitakan
Injil dan membina warganya sesuai
amanat agung Yesus Kristus (Mat.28:19-20). Melalui panggilan ini seluruh
anggotanya terlibat berperan-serta untuk melaksanakan pelayanan dan kesaksian
gereja sebagai “garam” dan “terang” dunia di setiap situasi baik di dalam
gereja maupun di tengah-tengah masyarakat. Dengan ini, gereja harus dapat
menciptakan peluang-peluang baru yang komprehensif melalui program-program yang
strategis, terarah dan berkesinambungan mencakup kebutuhan manusia secara utuh
dan menyeluruh (Bp Am Sinode 1996:1-2). Dari dokumen-dokumen Konferensi
Pekabaran Injil sedunia di San Antonio (Texas-Amerika Serikat) Juni 1989,
disadari bahwa polarisasi antara kaum evangelical dan kaum ekumenikal adalah
hasil cara berpikir Barat, yang membedakan dan kemudian memisahkan antara
pelayanan “rohani” dan “sosial.” Pemisahan ini karena di banyak negara Barat
yang makmur (walaupun ada juga golongan yang miskin dan tertindas), kesaksian
yang diperlukan. Sedangkan dalam pandangan Barat “Dunia Ketiga”[9]
terutama membutuhkan pelayanan sosial (2011:165). Selain pekabaran Injil
sasarannya kepada manusia sebagai subyek maupun obyek, Injil harus diberitakan
kepada segala mahluk (Mrk.16:15). Tugas ini berhubungan dengan
pertanggungjawaban pemeliharaan “keutuhan ciptaan” sesuai mandat Allah (bnd.
Kej.1:1-31; Mzm.24:1-2).
2.3. Hubungan Teologis Misi dan
Pekabaran Injil
Bagian
ini merupakan suatu penegasan konkrit mengenai hubungan antara konsep misi dan
pekabaran Injil. Secara kualitatif misi adalah dasar bagi pekabaran Injil dan
pekabaran Injil adalah reaksi atau respons terhadap panggilan misi. Dari
perspektif teologis, yang merupakan sumber, asal-usul, dan tujuan misi adalah
Allah. Kemudian, yang merupakan berita dan teladan dalam misi pekabaran Injil
adalah Yesus Kristus. Sedangkan yang pemberi kuasa yang memampukan gereja untuk
melakukan misi dan pekabaran Injil adalah Roh Kudus. Jadi dasar teologi misi
dan pekabaran Injil bersifat “Trinitaris.” Lesslie Newbegin dalam The Open Secret: An Introduction to the
Theology of Mission seperti dikutip Coralie F. Joyce menjelaskan arti missio Dei dengan menyatakan bahwa misi
adalah pekerjaan Allah Tritunggal. Menurutnya, pengertian misi Sang Trinitas
harus dilaksanakan melalui pemakluman kerajaan Bapa, yang berarti misi sebagai:
iman dinyatakan; membagi hidup Anak: yang berarti misi sebagai kasih yang
dilaksanakan; bersaksi bersama-sama Roh: yang berarti misi sebagai pengharapan
yang dinyatakan. Pola ini nampak dalam Injil Yohanes dengan temanya mengenai
utusan. Allah mengutus Anak-Nya; Bapa dan Anak mengutus Roh-Nya; dan Sang
Trinitas mengutus jemaat-Nya (2001:9). Oleh karena itu, tindakan misi dan
pekabaran Injil bukan lahir dari kemauan manusia, tetapi karena manusia
terpanggil ikut-serta dalam misi Allah-missio
Dei.
3. DIAKONIA
3.1. Pengertian Istilah
Istilah
diakonia banyak digunakan, namun
persoalannya tidak sesederhana seperti mengungkapkannya dalam kata-kata. A.
Noordegraaf mengatakan, penilaian ulang atas diakonia disebabkan oleh berbagai
macam hal, di antaranya: (a) perhatian yang makin bertambah untuk tugas misioner
dan diakonia gereja di dunia (bersaksi melalui pelayanan). (b) perkembangan
dalam misi dunia dan timbulnya gerakan oikumene. (c) pergeseran di bidang
sosial-ekonomi dan perubahan dalam tata susunan masyarakat. (d) perkembangan
yang mengarah kepada suatu kehidupan bersama yang lebih luas secara global
(2004:1). Jadi penilaian dan perumusan ulang konsep diakonia sebagai salah satu
fungsi pelayanan gereja tak dapat dipisahkan dari tugas kesaksian (marturia) atau pemberitaan Injil.
Secara
harfiah kata “diakonia” berarti “memberi pertolongan atau pelayanan.” Kata ini
berasal dari kata Yunani diakonia (pelayanan),
diakonein (melayani), diakonos (pelayan), (h.2). Diakonein (secara harfiah: melayani
meja) di dunia Yunani sebagai pekerjaan rendah, pekerjaan budak, dan orang
merdeka pasti tidak mau melakukannya. Di negeri Yahudi melayani tidak dilihat
sebagai sesuatu yang rendah. Hukum Lewi, Imamat 19:18 mencakup kesediaan
mengasihi dan saling melayani. Dalam Perjanjian Baru ditemukan beberapa
ungkapan dengan arti harfiah: “melayani di meja”, baik dalam arti mempersiapkan
jamuan makan (lih.Kis.6:2) maupun dalam arti pekerjaan pelayan meja, yang siap
melayani para tamu (Luk.12:37; 17:8; Yoh.2:5,9). Kelompok kata Yunani diakonia (service), diakonos (server), dan
diakoneo (serve), dalam konteksnya termasuk, yakni “melayani meja” (table service) dan “jabatan pelayanan
kultis” (cultic office), yang oleh
kekristenan mula-mula menggambarkan berbagai bentuk pelayanan (Mary Rose
D’angelo 1996:66). Demikian pula, diakonia adalah istilah Perjanjian Baru yang
menunjukkan bahwa kedudukan serta perutusan dalam gereja adalah demi pelayanan
kepada jemaat (Kis.1:17, 25; 21:19; Rm.11:13; 1 Tim.1:12), (Gerald O’Collins
dan Edward G. Farrugia 1996:53).
3.2. Orientasi Diakonia
Berdasarkan
pengertian-pengertian di atas, maka orientasi diakonia tidak terbatas atau
dibatasi hanya pada satu segi kehidupan bergereja (berjemaat). Di dalam
diakonia terungkap juga arti melayani sesama secara umum, yaitu sesama yang
lebih rendah kedudukannya (lih. Luk.22:26,27). Mengenai para wanita yang
mengikuti Yesus dikatakan mereka melayani-Nya dengan harta benda (Luk.8:3), dan
Matius 25:31-46 melukiskan pelayanan sebagai memberi makan dan minum, memberi
pakaian dan tumpangan, perawatan dan kunjungan orang sakit serta para tahanan
yang dilihat sebagai pelayanan bagi Tuhan Allah (Noordegraaf, h.3-4). Dalam
LDKG (Bab II, tentang: koinonia) dirumuskan: Yang dimaksud dengan pelayanan
diakonia adalah pelayanan dan keterlibatan gereja yang ditimbulkan dari
panggilan dan tugasnya untuk memperhatikan, membantu, memerdekakan dan
melepaskan setiap orang, yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka
dan keluarga mereka masing-masing pada masa kini dan masa depan dengan
selayaknya. Mereka ini adalah orang-orang yang miskin,[10]
sakit, terasing, lemah dan terlantar, bodoh, korban bencana alam dan
peperangan, terkebelakang, terkena perlakuan tidak adil dan sewenang-wenang,
menjadi korban ketiadaan dan ketidakpastian hukum (lih. Kel.21:23-33;
Yes.58:6-7; Zak.7:9-10; Mat.9:35-38; 25:31-46; Luk.4:16-21; Kis.6:1-7;
Yak.1:26-27; 1Tim.5:3-16). Pelayanan diakonia ini berpola pada Yesus sebagai
Pelayan yang memberi nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang (Mrk.10:45),
(1990:100). Secara etis-teologis diakonia mencakup semua pekerjaan pelayanan
jemaat: pemberitaan, kegiatan melengkapi, pengawasan, pelayanan belas kasihan,
dan sebagainya.
Jadi
orientasi diakonia mencakup arti yang luas, yaitu semua pekerjaan yang
dilakukan dalam pelayanan bagi Kristus di jemaat, untuk membangun dan
memperluas jemaat, oleh mereka yang dipanggil sebagai pejabat dan anggota
jemaat biasa. Dalam diakonia secara luas terdapat tempat untuk diakonia dalam
arti khusus, yaitu memberi bantuan bagi orang yang mengalami kesulitan dalam
kehidupan. Kita tidak boleh menenggelamkan kekhasan pekerjaan ini dalam suatu
pengertian umum “pelayanan kasih” dan kita tidak boleh melepaskan diakonia
jemaat Kristus dari pelayanan kesaksian, penggembalaan dan doa syafaat.
Diakonia sebagai pelayanan terhadap yang miskin dan berkekurangan berkaitan
dengan pelayanan “pemberitaan Firman.” (Noordegraaf, h.5). Dalam Perjanjian
Baru istilah diakonia dipakai tidak hanya dalam konteks pelayanan meja, tetapi
dalam konteks yang beraneka ragam. Misalnya: 2 Korintus 5:18-19 diakonia
dipakai dalam konteks “pendamaian”, dihubungkan dengan “iman”, “kasih”, “ketekunan” dalam Wahyu
2:19, dipakai pada konteks pengertian tugas seperti dalam 2Timotius 4:5,11;
Kolose 4:17, (Jakub Santoja 1988:14). Dalam perkembangannya kata diakonia atau
pelayanan dikaitkan dengan pelayanan meja dan pelayanan firman. Jadi diakonia
dalam Perjanjian Baru lebih luas artinya dari diakonia yang selama ini kita
pahami. Dalam Kisah Para Rasul 6:1,2,4 diakonia terdiri dari “diakonia firman”
atau “pelayanan firman”, dan “diakonia meja” atau “pelayanan meja” yang lazim
dipahami sebagai “pelayanan sosial gerejawi.” Di dalam gereja atau jemaat
berulangkali digunakan istilah “pelayanan firman”, tetapi tidak banyak yang
menyadari bahwa kata “pelayanan” itu berasal dari kata “diakonia.” Seolah-olah
kata diakonia hanya tepat dikenakan pada kegiatan pelayanan kesejahteraan.
Sebenarnya, kata “diakonia” dipakai untuk pelayanan firman dan pelayanan
kesejahteraan, pelayanan meja. (h.17). Dengan demikian, orientasi tugas diakonia
gereja yang bersumber pada diakonia atau pelayanan Yesus Kristus bersifat
holistik, meliputi segi jasmani maupun rohani (Mat.20:28; Mrk.10:45;
Yoh.10:10). J.C. Sikkel seperti dikutip A. Noordegraaf mengatakan: “Tanpa gedung, gereja dapat hidup. Tanpa diakonia
gereja mati.” (h.177). Seperti halnya pelayanan firman bersifat proklamasi
spiritual, maka pelayanan kesejahteraan adalah proklamasi firman secara
konkrit.
5. MISI PEKABARAN INJIL DARI SUDUT
PANDANG DIAKONIA
Misi
Allah telah menjadi titik-tolak bagi gereja untuk memulai penyelidikan dan
tindakan untuk mewujudkan apa yang dilakukan Allah: Bapa melalui hidup dan
karya Yesus Kristus. Inilah fakta Kristus (the
fact of Christ)[11]
yang secara mutlak menjadi titik-tolak bagi pemikiran, perkataan dan tindakan
gereja di masa kini. Dengan demikian, berbicara tentang misi dalam konteks
gereja, tidak dapat dipisahkan dari pemanggilan seseorang atau kelompok yang
diutus, dikirim untuk memberitakan fakta Kristus itu melalui perkataan dan
perbuatan tentang apa yang dihehendaki Allah dan bukan yang dikehendaki orang
atau kelompok yang diutus. Jadi misi harus merupakan perwujudan komitmen yang
dalam terhadap kebenaran suatu pesan khusus, yang ditafsirkan sebagai kabar
baik bagi semua orang yang mempengaruhi dan membaharui hidup manusia secara
nyata (J. Andrew Kirk 2012:22). Karena misi itu berisi maksud Allah bagi
manusia dan seluruh ciptaan. Kemudian, agar supaya maksud Allah itu
sungguh-sungguh konkrit, maka Ia melibatkan manusia sebagai partner
perjanjian-Nya. Misi inilah yang menjadi dasar untuk segala kegiatan pekabaran
Injil (H. Venema 2006:29).
Untuk menegaskan hubungan antara misi
pekabaran Injil dan diakonia, maka eksistensi Injil tidak hanya dipahami
sebagai suatu berita yang berisi tawaran mengenai keselamatan atau pembaruan
hidup yang bersifat keakanan, tetapi harus diresponi sebagai tindakan konkrit
yang dilakukan Allah dalam Yesus Kristus dan berdampak pada pemulihan hidup
manusia baik jasmani maupun rohani, kini dan di sini atau bersifat kekinian.
Jika demikian, maka misi pekabaran Injil yang dilakukan sudah seharusnya
menghadirkan kebebasan, keadilan, perdamaian, kebenaran dan kesejahteraan
holistik (wholeness) bagi manusia.
Jadi misi yang Allah tidak hanya mengajarkan teori tentang diri-Nya, tetapi Ia memberi
teladan secara nyata lewat hidup dan karya Anak-Nya. Dengan demikian, tindakan
Allah dalam Yesus Kristus harus menjadi kriteria untuk mengukur efektivitas
pelaksanaan misi pekabaran Injil, serta perwujudannya dalam diakonia.
Perspektif ini meletakkan dasar historis dan teologis bahwa gereja yang hidup
adalah gereja yang memberitakan Injil, dan membaharui hidup manusia melalui
pelayanan yang konkrit berdasarkan nilai-nilai Injil. Gereja yang hidup adalah
gereja yang konsisten dan berkesinambungan menjawab kebutuhan hidup manusia,
jasmani maupun rohani. Itu berarti implementasi dari misi pekabaran Injil dan
diakonia tidak memposisikan gereja menjadi pemantau atau penonton yang pasif
ditengah dinamika zaman, tetapi mendorong gereja agar memiliki kesadaran
profetis sehingga berperan sebagai driving
force yang terlibat dan menghidupkan. Kenyataan ini hendak menegaskan bahwa
misi pekabaran Injil merupakan prinsip kebenaran yang diberitakan secara verbal
(dengan kata-kata), sedangkan diakonia adalah prinsip tindakan yang lahir dari
Injil. Dengan begitu, misi pekabaran Injil dan diakonia merupakan dua sisi dari
satu mata uang. Ini menunjukkan bahwa secara kuantitatif misi pemberitaan Injil
dan diakonia adalah dua kenyataan, tetapi secara kualitatif punya hubungan
timbal-balik yang utuh. Injil sungguh-sungguh akan menjadi berita dan kuasa
yang menghidupkan, jika di isi dan ditanamkan dalam wadah diakonia. Jadi misi
pekabaran Injil dari sudut pandang diakonia, mengharuskan gereja menerjemakan
Injil dalam praksis.[12]
Karena pemahaman diakonia gereja di bangun atas dasar hidup dan karya Yesus di
dalam dunia, maka acuan teologis untuk memahami hubungan misi pekabaran Injil
dan diakonia, didasarkan pada beberapa contoh: Yesus memberi makan lima ribu orang (Mat.14:13-21), Yesus menyembuhkan orang yang sakit kusta
(Mat.8:1-4), orang lumpuh disembuhkan
(Mat.9:1-8), Yesus Gembala yang baik,
memberi kelimpahan hidup bagi domba-domba-Nya (Yoh.10:1-21; Mzm.23:1-6), Yesus memanggil kedua belas rasul
(Mat.10:1-4) dan mengutus mereka
(5-15). Dan banyak perempuan-perempuan
yang melayani Yesus (Luk.8:1-3): Yesus
berjalan berkeliling dari kota ke kota, desa ke desa untuk memberitakan Injil
(ay.1), Ia menyembuhkan beberapa
perempuan dari roh-roh jahat atau berbagai penyakit,....(ay.2/3), dan perempuan-perempuan ini melayani dengan
kekayaan mereka (ay.3). Kesaksian-kesaksian ini meneguhkan bahwa diakonia
dari perspektif Injil, tidak hanya berhubungan dengan satu aspek, yakni jasmani
saja atau rohani saja dari kebutuhan hidup manusia. Tetapi mengikuti Yesus
karena Injil, melayani dengan harta benda, mewujudkan perdamaian, memelihara
iman dan kasih, bertekun adalah bentuk nilai-nilai Injil dari sudut pandang
diakonia. Jadi apa yang dilakukan Yesus merupakan diakonia yang sesungguhnya
sebagai proses dari penerapan “kabar baik.” Tetapi juga diakonia yang dilakukan
gereja terhadap Tuhan, mempunyai konsekwensi terhadap sesama seperti kesaksian
Matius 25:35-36, ketika Aku lapar kamu
memberi Aku maka; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang
asing kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku
pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu
mengunjungi Aku.
Jadi
dari perspektif berita Injil, diakonia yang dilakukan gereja tidak identik
dengan suatu gerakan sosial, tetapi merupakan tindakan penerapan kasih Allah
untuk merealisasikan perdamaian, kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan sebagai
tanda kehadiran “Kerajaan Allah.”[13]
Ada empat faktor yang terkandung dalam tema misi pekabaran Injil dari sudut
pandangan diakonia, (1) pemberitaan Injil atau Firman Allah hanya bermakna jika
diaktualisasikan dalam perspektif diakonia. (2) diakonia harus dipahami sebagai
upaya penerapan Injil yang bertujuan menciptakan kesejahteraan bagi manusia,
baik jasmani maupun rohani. (3) misi pekabaran Injil dari sudut diakonia
membutuhkan struktur penyelenggaraan dan pelaksana yang berwibawa. Inilah yang
melahirkan adanya sistem kultis atau jabatan dalam gereja untuk melakukan
diakonia. (4) dari sudut diakonia, tujuan misi pekabaran Injil adalah
menjadikan segala bangsa menjadi murid Yesus (bukan hanya percaya, tetapi siap
berkorban).
Jika
Gereja Kristen Injil di Tanah Papua ingin mewujudkan diakonia yang mandiri dan
misioner berdasarkan misi dan pekabaran Injil, maka harus memenuhi empat
syarat: (1) GKI harus memahami dirinya sendiri (teologi tentang gereja). (2)
GKI harus sanggup mengorganisasi dirinya sendiri (penguatan struktur gereja:
jemaat, klasis dan sinode). (3) GKI harus mengungkapkan dirinya sendiri (peran
gereja), dan (4) GKI harus menjadi dirinya sendiri (kehidupan bergereja,
pengembangan potensi dalam konsep “rumah besar”).
Tetapi aku
tidak menghiraukan nyawaku sedikitpun,
asal saja
aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh
Tuhan Yesus kepadaku
untuk
memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah.
(Kisah Para
Rasul 20:24)
REFERENSI
Abineno J.L.Ch.,
1981 Apa Kata Alkitab?
I, Seri: Gereja dan Teologia No.2. Jakarta: BPK Gunung Mulia untuk
Persetia.
Andrew J. Kirk.
2012 Apa Itu Misi?
Suatu Penelurusan Teologis (judul asli: What
is Mission? Theological Explorations. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Berkhof, Hendrikus.
1964 The Doctrine of
the Holy Spirit. Virginia: John Knox
Press.
Blauw, Johannes.
1962 The Missionary of
the Church: Survey of the Biblical Theology of Mission. London: Lutterworth
Press.
BP Am Sinode GKI
1996 Pokok-Pokok
Pelaksanaan Amanat dan Panggilan Gereja 1996-2000, Sidang Sinode XIII.
Jayapura.
Bromuley G.W.,
1988 The International
Standard Bible Encyclopedia. Vol.4 (Q-Z). William B. Eerdmans Publishing
Company.
De Jonge, Christian.
2011 Menuju Keesaan
Gereja: Sejarah, Dokumen-Dokumen dan Tema-Tema Gerakan Oikumene. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
Dorothy L. Marx.
1974 Yang Lama Yang
Baru Yang Mana Konsep Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Erari, Karel, Phil.
1999 Supaya Engkau
Membuka Belenggu Kemiskinan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Gara, Johan N.,
2000 Ibadah Adalah
Pangkalan Misi: Disertasi Doktor Program Pascasarjana Teologi UKIT.
Tomohon.
Hoedemaker A.,
1970 Tindakan Allah Di
dalam Dunia Sebagai Persoalan Teologi. Jakarta: STT Jakarta.
Jakub, Santoja.
1988 Pemahaman
Diakonia, dalam: Gereja Menanggapi Panggilan Allah Untuk Melayani, Buku Hasil
Lokakarya Diakonia. Yogyakarta: Duta Wacana.
Joyce, Coralie F.,
2001 Paradigma Teologi
Misi Dalam Tulisan Yohanes, dalam: Exodus No. 11Th. IX. Tomohon.
Noordegraaf. A.,
2004 Orientasi
Diakonia Gereja: Teologi Dalam Perspektif Reformasi (judul asli: Orientatie In Het Diakonaat: Theologie In
Reformatorisch Perspectief). Jakata: BPK Gunung Mulia.
O’Collins, Gerald dan Farrugia, Edward G.,
1996 Kamus Teologi (judul
asli: Dictionary of Theoogy).
Yogyakarta: Kanisius.
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI)
1990 Dalam Kemantapan
kebersamaan Menapaki Dekade Penuh Harapan (LDKG). Jakarta BPK Gunung Mulia
Russell, Latty M., dan Klarkson, Shannon J.,
1996 Dictionary of
Feminist Theology (ed.). Lousville, Kentucky: John Knox Press
Siwu R.A.D.,
1990 Misi Dalam
Pandangan Ekumenikal dan Evangelikal Asia 1910-1961-1991. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
Venema. H.,
2006 Injil Untuk Semua
Orang: Pembimbing Ke dalam Ilmu Misiologi. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina
Kasih.
[1]Materi
yang disampaikan pada Konferensi Pekabaran
Injil ke-II GKI Di Tanah Papua, 1-3 Februari 2013 di Sorong - Papua Barat.
[2]Dosen
bidang studi Teologia Sistematika-A (Dogmatika
Kristen), pada Sekolah Tinggi Teologia GKI “I.S. Kijne” Abepura-Jayapura.
[3] Rivised
Standard Version
[4]Menurut
J. Aagaard, seperti dikutip K.Ph. Erari mengatakan: Konsep missio Dei hanya didasarkan pada keselamatan melalui gereja dan
aktivitas pekabaran Injil. Sedangkan missiones
Dei diartikan sebagai fakta dari dimensi kehadiran Allah di dalam Roh
Kudus, ditengah-tengah umat manusia. Missiones
Dei menekankan tindakan dan partisipasi manusia di dalam sejarah (1999:68).
[5]Ideologi
adalah kumpulan konsep bersistem yang memberikan arah dan tujuan untuk
kelangsungan hidup; cara berpikir seseorang atau suatu golongan; paham, teori,
dan tujuan yang berpadu merupakan satu program sosial politik (Suharso dan Ana
Retnoningsih 2009:273).
[6]
Menurut L.A. Hoedemaker, sekuler/sekularisasi
suatu istilah yang sulit untuk didefinisikan dengan tepat - tidak berarti bahwa orang-orang
meninggalkan agama, melainkan bahwa perkembangan masyarakat, dan cara pemikiran
yang berlaku dalam perkembangan masyarakat dari dirinya sendiri tidak lagi
memerlukan “berpikir dalam struktur religius.” Berpikir dalam struktur religius
berarti bahwa kenyataan dunia dihubungkan dengan suatu kuasa yang tidak identik
dengan kenyataan itu, yaitu dengan suatu titik asal dan titik arah yang
“transenden.” Struktur religius bukan hanya menunjuk pada cara pemikiran atau
interpretasi tentang dunia. Struktur religius selalu mengambil bentuk dalam
kenyataan-kenyataan sosial: suatu gereja atau lembaga agama yang menuntut
tempat dan pengaruh tertentu ditengah masyarakat - entah melalui pekabaran
Injil atau melalui partisipasi tertentu dalam pembangunan struktur-struktur
sosial (1970:22).
[7]
LDKG=Lima Dokumen Keesaan Gereja di Indonesia
[8]Dikemukakan
dalam: The Truth Shall Make You Free:
The Lambeth Conference 1988 (Anglikan Consultative Council, 1988)
[9]Pengertian
Dunia Ketiga (negara sedang berkembang) adalah suatu sebutan global untuk semua
negara yang ada dipinggiran Dunia Kesatu (Eropa Barat, Amerika Serikat) dan
negara-negara di Eropa Timur (Dunia Kedua).
[10]Miskin
bukan hanya berarti soal ekonomi. Ada orang yang secara ekonomi baik atau kaya,
tetapi diganggu oleh masalah penggunaan narkoba, minuman keras, perceraian,
kurang pengetahuan, tidak punya ketrampilan, dan sebagainya.
[11]Yang
dimaksud adalah seluruh hidup dan karya pelayanan Yesus Kristus: Kelahiran,
kematian, kebangkitan, kenaikkan, dan kedatangan-Nya.
[12]
Praksis, yaitu konteks hidup, pergumulan, dan perjuangan yang nyata dari
manusia.
[13]
Kerajaan Allah berarti: pertama, menunjuk pada kekuasaan Allah yang berlaku
atas seluruh ciptaan-Nya secara absolut. Dan kedua, menunjuk pada hubungan
khusus antara Allah dan umat-Nya sepanjang sejarah.
0 komentar:
Posting Komentar