KEBENARAN BUKAN UNTUK
MEMBENARKAN DIRI
Ayub 40 : 1 – 9
Pdt. Lucky Matui
Sebelum membahas Ayub 40:1-9, saran saya, alangkah
baiknya kita membaca fasal-fasal sebelumnya, yakni 38-39:25, sehinga kita mudah
mengerti pembacaan saat ini.
Ayub 40:1-9 diberikan judul oleh Lembaga Alkitab
Indonesia (LAI) “Tuhan Menantang Ayub.” Melihat judul sepertiini muncul pertanyaan pada kita: “Ada persoalan apa sehingga Tuhan menantang Ayub? Apakah
Tuhan belum cukup merasakan penderitaan yang dialami oleh Ayub? Ya, paling
tidak kan Tuhan harus tahu besarnya penderitaan yang dialami oleh Ayub begitu
berat. Iya kan? Apalagi kalau mau dilihat
gencarnya tuduhan yang dilontarkan sahabat-sahabatnya, Elifas, Bildad dan
Zofar, membuat batin Ayub semakin tertekan? Belum cukup lagi Elihu bin
Barakheel, orang Bus, dari kaum Ram, datang memarahi Ayub sesuka hatinya,
karena ia merasa Ayub cenderung membela dirinya sebagai orang yang tidak
bersalah di hadapan Allah. Sungguh Ayub berlipat-lipat mengalami penderitan dan
hidupnya benar-benar terpuruk. Lalu, dengan kondisi kehidupan Ayub yang begitu
menderita, mengapa Tuhan harus hadir lagi dan menantang Ayub? Ada apa?
Bila mencermati dengan baik keseluruhan kisah penderitaan
Ayub, maka akan muncul kesan seakan-akan Ayub adalah seorang yang paling salah,
baik di mata teman-temannya maupun di hadapan Tuhan. Satu sisi, Ayub divonis
oleh sahabat-sahabatnya sebagai orang yang telah melakukan dosa di hadapan
Tuhan sehingga ia kena hukuman; dan di sisi lain, Tuhan pun datang dalam badai
menyalahkan Ayub karena kelancangannya.
Apakah memang Ayub berbuat dosa yang sedemikian besar
sehingga Tuhan menghukumnya? Tentu saja tidak! Lalu, apa alasannya? Alasannya
seperti ini. Ketika Ayub menjalani masa penderitaan, ketiga sahabatnya selalu
saja hadir menghakimi Ayub sebagai seorang yang telah bersalah di hadapan
Tuhan. Akibat dari kesalahan itu Tuhan menghukumnya dengan penderitaan.
Mendengar tuduhan yang tidak adil seperti itu, dengan tegas Ayub bangkit
mempertahankan prinsipnya kalau ia tidak melakukan kesalahan di hadapan Tuhan.
Sikap manakah yang meyakiti hati Tuhan? Dari alasan prinsip itulah Ayub
berupaya dengan pikiran hikmatnya sendiri mencari tahu sumber dari
penderitaannya, dengan menganjurkan pertanyaan-pertanyaan kritis kepada Tuhan.
Apa kesalahannya sehingga penderitaan itu begitu menusuk hidup dan batinnya.
Nah, dengan pemikiran Ayub seperti inilah, Tuhan hadir dalam kemahakuasaan-Nya
dan menantang pikirannya.
Ayub 40:1-9 membahas tentang bagaimana Tuhan
datang dari dalam badai dan menyatakan kuasa-Nya di hadapan Ayub dengan berkata:
“Bersiaplah engkau sebagai laki-laki; Aku akan menanyai engkau, dan engkau
memberitahu Aku.” Pernyataan tegas seperti ini terkesan Tuhan begitu marah
terhadap Ayub karena kelancangan pikiran Ayub terhadap rahasia kedudukan Tuhan.
Dengan kata lain, Tuhan begitu marah karena Ayub sebagai manusia pingin mencari
tahu tentang hakikat Allah yang tidak dapat dipahami dan didalami oleh pikiran
manusia. Seakan-akan Ayub hendak mencari tahu apa penyebabnya, apa dosanya
sehingga Tuhan menghukumnya dengan penderitaan yang begitu berat.
Mari kita
lihat bersama bagian pembacaan kita yang termuat dua hal penting di bawah ini.
1. Pertanyaan
Tuhan kepada Ayub (3-4)
Dua kali
Tuhan bertanya kepada Ayub berkaitan dengan sikapnya yang pingin mencari tahu kesalahan
apakah yang ia telah perbuat sehingga penderitaan melanda hidupnya atas izin
Tuhan. Pertanyaan Tuhan pertama apakah Ayub sanggup mempersalahkan Tuhan supaya
ia dibenarkan? Pertanyaan yang kedua apakah Ayub sanggup menjadikan dirinya
sebagai tuhan dan berkuasa atas Tuhan yang berkuasa? Bila disederhanakan
mungkin pertanyaan Tuhan seperti ini: “Hai, Ayub, apakah engkau sanggup menjadi
Tuhan dan Aku menjadi manusia, sehingga engkau dapat mempersalahkan Aku dan
membatalkan pengadilan-Ku? Apakah engkau sangup?”
2. Nantangan
Tuhan kepada Ayub (5-8)
Dua
pertanyaan Tuhan di atas hendak menegaskan bahwa kalau memang Ayub lebih
berkuasa atas Tuhan, maka ia diperkenankan menghiasi dirinya dengan keagungan,
keluruhan dan kemuliaannya. Sehingga dengan begitu, yang oleh karena
penderitaan yang dialaminya sekian lama, maka Ayub disilakan Tuhan untuk
menghamburkan atau melampiaskan amarahnya kepada sahabat-sahabatnya yang
terlihat sombong, agar mereka direndahkan. Tidak saja sahabat-sahabatnya, tetapi
siapapun orang yang sombong dan orang fasik, silakan Ayub menundukan dan
menginjak mereka di tempatnya. Kuburkanlah mereka bersama debu dan
selubungkanlah mereka di tempat persembunyian mereka. Silakan saja Ayub
melakukan semua itu, bila benar-benar ia adalah Tuhan. Andaikan hal itu adalah
benar-benar nyata, maka menurut Tuhan, Ia akan mengakui bahwa dari tangan kanan
Ayub sendirilah yang menyelamatkannya. Artinya bahwa kalau benar-benar Ayub,
yang dengan kekuatan tangannya, menyelamatkan dirinya sendiri, maka Tuhan akan
mengakui Ayub sebagai seorang manusia yang sanggup menyelamatkan dirinya.
Penegasan-penegasan
Tuhan di atas, bila diamati dan dimengerti secara baik, sebenarnya
kata-kata Tuhan seperti itu merupakan pukulan telak terhadap eksistensi kemanusiaannya
Ayub sebagai manusia yang pada prinsipnya terbatas. Tuhan pingin agar
Ayub sebagai manusia yang sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan, sekalipun
sedang mengalami penderitaan yang begitu berat, tetapi sekali-kali ia tidak
berhak menyalahkan Tuhan karena penderitaan yang dialaminya, apalagi ingin
mencari tahu rahasia pikiran Tuhan terhadap manusia. Kebenaran moral Ayub tidak
mungkin dipakai sebagai indikator untuk mengukur rancangan dan kehendak Tuhan
bagi dirinya. Ayub tidak bisa memposisikan dirinya sebagai orang yang benar di
hadapan Tuhan, yang kemudian menganggap ia tidak pantas menerima penderitaan
yang diizinkan Tuhan atas dirinya. Tetapi, menurut Tuhan, penderitaan yang
dialami oleh Ayub itu merupakan perkenannya Tuhan. Oleh sebab itu, sekali lagi,
Ayub tidak punya kapasitas sedikitpun untuk mencari tahu rahasia keilahian
Tuhan dan memakai kebenaran moral hidupnya sebagai ukuran untuk membenarkan
dirinya di hadapan Tuhan. Kebenaran moral Ayub bukanlah dasar utama menentukan
kebijakan dan keputusan Allah, melainkan hak dan kedaulatan-Nya yang
menentukan. Kebenaran moral Ayub bukan ukuran yang pasti untuk menilai Allah
dalam segala keputusan-Nya. Apalagi sampai menentukan manakah yang layak
menerima hukuman dan keselamatan Tuhan karena ukuran kebenaran moral seseorang.
Belajar
dari kisah Ayub ini ada bebera hal penting yang perlu kita ambil sebagai
refleksi dalam kehidupan kita bersama.
1. Penderitaan
yang dialami oleh manusia adalah sebuah kenyataan hidup yang tidak mungkin
dielakan oleh siapapun dalam dunia ini. Setiap orang yang lahir dan hidup,
entah ia orang kaya atau miskin, tua atau muda, kecil atau pun besar, kenyataan
itu selalu dan pasti dialaminya. Penderitaan tidak memandang status pendidikan,
pekerjaan, sosial, agama, suku dan golongan seseorang; bila ia datang tak
seorang pun yang sanggup membatasinya. Penderitaan pun bukan saja dialami oleh
orang-orang berdosa, tetapi juga dialami oleh orang-orang saleh. Pernahkah kita
melihat seorang yang saleh hidupnya terbebas dari penderitaan? Tidak kan? Jadi,
janganlah sekali-kali menilai penderitaan itu adalah hanya milik orang-orang
berdosa saja, melainkan orang saleh pun akan dan tetap menjalaninya.
Perbedaan penderitaan antara orang benar dengan orang fasik adalah ditentukan
pada kemampuan dalam menghadapi penderitaan itu. Orang benar, saat mengalami
penderitaan, ia selalu bersyukur; sedang penderitaan orang fasik adalah
dipenuhi dengan kesungutan di hadapan Tuhan. Dengan demikian, penderitaan
merupakan kenyataan hidup yang tetap ada dan tetap dialami oleh setiap orang
dalam dunia ini.
2. Belajar
dari kisah penderitaan yang dialami Ayub, seharusnya kita perlu menyadari dan
mengerti bahwa sekalipun penderitaan dalam bentuk apa saja yang kita hadapi, baik
penderitaan kolektif maupun indifidu, janganlah sekali-kali kita merumuskan
kesimpulan bahwa hal itu karena kesalahan kita, melainkan hal itu pun bisa
terjadi karena kehendaknya Tuhan. Hal yang terakhir inilah yang dialami oleh
Ayub. Oleh sebab itu, bila penderitaan datang, sekalipun bukan karena kesalahan
kita, janganlah sekali-kali kita menilainya sebagai suatu kehendak Tuhan yang
salah bagi hidup kita. Tidak ada kebenaran manusia yang dapat dijadikan sebagai
alat ukur kehendak Tuhan dalam setiap penderitaan yang dialami oleh seseorang.
Bila ada seorang manusia yang menjadikan kebenaran dirinya sebagai patokan
layak dan tidaknya ia mengalami penderitaan, maka ia telah menyamai
dirinya sejajar dengan Tuhan. Tugas kita adalah menjalani penderitaan dalam
iman dan pengharapan bahwa semua itu ada di dalam bingkai penegendalian Tuhan.
Tuhan menasihati kita bahwa penderitaan itu adalah wadah bagi semua orang, baik
yang benar maupun yang salah, untuk melihat Tuhan itu jauh lebih berkuasa atas
hidup manusia.
Shalom
0 komentar:
Posting Komentar