Kamis, 04 Juli 2019

Juli 04, 2019

KEBENARAN BUKAN UNTUK MEMBENARKAN DIRI
Ayub 40 : 1 9
Pdt. Lucky Matui

          Sebelum membahas Ayub 40:1-9, saran saya, alangkah baiknya kita membaca fasal-fasal sebelumnya, yakni 38-39:25, sehinga kita mudah mengerti pembacaan saat ini.
Ayub 40:1-9 diberikan judul oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) Tuhan Menantang Ayub.Melihat judul sepertiini muncul pertanyaan pada kita: Ada persoalan apa sehingga Tuhan menantang Ayub? Apakah Tuhan belum cukup merasakan penderitaan yang dialami oleh Ayub? Ya, paling tidak kan Tuhan harus tahu besarnya penderitaan yang dialami oleh Ayub begitu berat. Iya kan? Apalagi kalau mau dilihat  gencarnya tuduhan yang dilontarkan sahabat-sahabatnya, Elifas, Bildad dan Zofar,  membuat batin Ayub semakin tertekan? Belum cukup lagi Elihu bin Barakheel, orang Bus, dari kaum Ram, datang memarahi Ayub sesuka hatinya, karena ia merasa Ayub cenderung membela dirinya sebagai orang yang tidak bersalah di hadapan Allah. Sungguh Ayub berlipat-lipat mengalami penderitan dan hidupnya benar-benar terpuruk. Lalu, dengan kondisi kehidupan Ayub yang begitu menderita, mengapa Tuhan harus hadir lagi dan menantang Ayub? Ada apa?
        Bila mencermati dengan baik keseluruhan kisah penderitaan Ayub, maka akan muncul kesan seakan-akan Ayub adalah seorang yang paling salah, baik di mata teman-temannya maupun di hadapan Tuhan. Satu sisi, Ayub divonis oleh sahabat-sahabatnya sebagai orang yang telah melakukan dosa di hadapan Tuhan sehingga ia kena hukuman; dan di sisi lain, Tuhan pun datang dalam badai menyalahkan Ayub karena kelancangannya.
       Apakah memang Ayub berbuat dosa yang sedemikian besar sehingga Tuhan menghukumnya? Tentu saja tidak! Lalu, apa alasannya? Alasannya seperti ini. Ketika Ayub menjalani masa penderitaan, ketiga sahabatnya selalu saja hadir menghakimi Ayub sebagai seorang yang telah bersalah di hadapan Tuhan. Akibat dari kesalahan itu Tuhan menghukumnya dengan penderitaan. Mendengar tuduhan yang tidak adil seperti itu, dengan tegas Ayub bangkit mempertahankan prinsipnya kalau ia tidak melakukan kesalahan di hadapan Tuhan. Sikap manakah yang meyakiti hati Tuhan? Dari alasan prinsip itulah Ayub berupaya dengan pikiran hikmatnya sendiri mencari tahu sumber dari penderitaannya, dengan menganjurkan pertanyaan-pertanyaan kritis kepada Tuhan. Apa kesalahannya sehingga penderitaan itu begitu menusuk hidup dan batinnya. Nah, dengan pemikiran Ayub seperti inilah, Tuhan hadir dalam kemahakuasaan-Nya dan menantang pikirannya.      
Ayub 40:1-9 membahas tentang bagaimana Tuhan datang dari dalam badai dan menyatakan kuasa-Nya di hadapan Ayub dengan berkata: “Bersiaplah engkau sebagai laki-laki; Aku akan menanyai engkau, dan engkau memberitahu Aku.” Pernyataan tegas seperti ini terkesan Tuhan begitu marah terhadap Ayub karena kelancangan pikiran Ayub terhadap rahasia kedudukan Tuhan. Dengan kata lain, Tuhan begitu marah karena Ayub sebagai manusia pingin mencari tahu tentang hakikat Allah yang tidak dapat dipahami dan didalami oleh pikiran manusia. Seakan-akan Ayub hendak mencari tahu apa penyebabnya, apa dosanya sehingga Tuhan menghukumnya dengan penderitaan yang begitu berat.
Mari kita lihat bersama bagian pembacaan kita yang termuat dua hal penting di bawah ini.
1.     Pertanyaan Tuhan kepada Ayub (3-4)
Dua kali Tuhan bertanya kepada Ayub berkaitan dengan sikapnya yang pingin mencari tahu kesalahan apakah yang ia telah perbuat sehingga penderitaan melanda hidupnya atas izin Tuhan. Pertanyaan Tuhan pertama apakah Ayub sanggup mempersalahkan Tuhan supaya ia dibenarkan? Pertanyaan yang kedua apakah Ayub sanggup menjadikan dirinya sebagai tuhan dan berkuasa atas Tuhan yang berkuasa? Bila disederhanakan mungkin pertanyaan Tuhan seperti ini: “Hai, Ayub, apakah engkau sanggup menjadi Tuhan dan Aku menjadi manusia, sehingga engkau dapat mempersalahkan Aku dan membatalkan pengadilan-Ku? Apakah engkau sangup?”  
2.     Nantangan Tuhan kepada Ayub (5-8)
Dua pertanyaan Tuhan di atas hendak menegaskan bahwa kalau memang Ayub lebih berkuasa atas Tuhan, maka ia diperkenankan menghiasi dirinya dengan keagungan, keluruhan dan kemuliaannya. Sehingga dengan begitu, yang oleh karena penderitaan yang dialaminya sekian lama, maka Ayub disilakan Tuhan untuk menghamburkan atau melampiaskan amarahnya kepada sahabat-sahabatnya yang terlihat sombong, agar mereka direndahkan. Tidak saja sahabat-sahabatnya, tetapi siapapun orang yang sombong dan orang fasik, silakan Ayub menundukan dan menginjak mereka di tempatnya. Kuburkanlah mereka bersama debu dan selubungkanlah mereka di tempat persembunyian mereka. Silakan saja Ayub melakukan semua itu, bila benar-benar ia adalah Tuhan. Andaikan hal itu adalah benar-benar nyata, maka menurut Tuhan, Ia akan mengakui bahwa dari tangan kanan Ayub sendirilah yang menyelamatkannya. Artinya bahwa kalau benar-benar Ayub, yang dengan kekuatan tangannya, menyelamatkan dirinya sendiri, maka Tuhan akan mengakui Ayub sebagai seorang manusia yang sanggup menyelamatkan dirinya.
Penegasan-penegasan Tuhan di atas,  bila diamati dan dimengerti secara baik, sebenarnya kata-kata Tuhan seperti itu merupakan pukulan telak terhadap eksistensi kemanusiaannya  Ayub sebagai manusia yang pada prinsipnya terbatas. Tuhan pingin agar Ayub sebagai manusia yang sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan, sekalipun sedang mengalami penderitaan yang begitu berat, tetapi sekali-kali ia tidak berhak menyalahkan Tuhan karena penderitaan yang dialaminya, apalagi ingin mencari tahu rahasia pikiran Tuhan terhadap manusia. Kebenaran moral Ayub tidak mungkin dipakai sebagai indikator untuk mengukur rancangan dan kehendak Tuhan bagi dirinya. Ayub tidak bisa memposisikan dirinya sebagai orang yang benar di hadapan Tuhan, yang kemudian menganggap ia tidak pantas menerima penderitaan yang diizinkan Tuhan atas dirinya. Tetapi, menurut Tuhan, penderitaan yang dialami oleh Ayub itu merupakan perkenannya Tuhan. Oleh sebab itu, sekali lagi, Ayub tidak punya kapasitas sedikitpun untuk mencari tahu rahasia keilahian Tuhan dan memakai kebenaran moral hidupnya sebagai ukuran untuk membenarkan dirinya di hadapan Tuhan. Kebenaran moral Ayub bukanlah dasar utama menentukan kebijakan dan keputusan Allah, melainkan hak dan kedaulatan-Nya yang menentukan. Kebenaran moral Ayub bukan ukuran yang pasti untuk menilai Allah dalam segala keputusan-Nya. Apalagi sampai menentukan manakah yang layak menerima hukuman dan keselamatan Tuhan karena ukuran kebenaran moral seseorang.
Belajar dari kisah Ayub ini ada bebera hal penting yang perlu kita ambil sebagai refleksi dalam kehidupan kita bersama.
1.     Penderitaan yang dialami oleh manusia adalah sebuah kenyataan hidup yang tidak mungkin dielakan oleh siapapun dalam dunia ini. Setiap orang yang lahir dan hidup, entah ia orang kaya atau miskin, tua atau muda, kecil atau pun besar, kenyataan itu selalu dan pasti dialaminya. Penderitaan tidak memandang status pendidikan, pekerjaan, sosial, agama, suku dan golongan seseorang; bila ia datang tak seorang pun yang sanggup membatasinya. Penderitaan pun bukan saja dialami oleh orang-orang berdosa, tetapi juga dialami oleh orang-orang saleh. Pernahkah kita melihat seorang yang saleh hidupnya terbebas dari penderitaan? Tidak kan? Jadi, janganlah sekali-kali menilai penderitaan itu adalah hanya milik orang-orang berdosa saja, melainkan orang saleh pun akan dan tetap menjalaninya.  Perbedaan penderitaan antara orang benar dengan orang fasik adalah ditentukan pada kemampuan dalam menghadapi penderitaan itu. Orang benar, saat mengalami penderitaan, ia selalu bersyukur; sedang penderitaan orang fasik adalah dipenuhi dengan kesungutan di hadapan Tuhan. Dengan demikian, penderitaan merupakan kenyataan hidup yang tetap ada dan tetap dialami oleh setiap orang dalam dunia ini.
2.   Belajar dari kisah penderitaan yang dialami Ayub, seharusnya kita perlu menyadari dan mengerti bahwa sekalipun penderitaan dalam bentuk apa saja yang kita hadapi, baik penderitaan kolektif maupun indifidu, janganlah sekali-kali kita merumuskan kesimpulan bahwa hal itu karena kesalahan kita, melainkan hal itu pun bisa terjadi karena kehendaknya Tuhan. Hal yang terakhir inilah yang dialami oleh Ayub. Oleh sebab itu, bila penderitaan datang, sekalipun bukan karena kesalahan kita, janganlah sekali-kali kita menilainya sebagai suatu kehendak Tuhan yang salah bagi hidup kita. Tidak ada kebenaran manusia yang dapat dijadikan sebagai alat ukur kehendak Tuhan dalam setiap penderitaan yang dialami oleh seseorang. Bila ada seorang manusia yang menjadikan kebenaran dirinya sebagai patokan layak dan tidaknya ia mengalami penderitaan, maka ia telah  menyamai dirinya sejajar dengan Tuhan. Tugas kita adalah menjalani penderitaan dalam iman dan pengharapan bahwa semua itu ada di dalam bingkai penegendalian Tuhan. Tuhan menasihati kita bahwa penderitaan itu adalah wadah bagi semua orang, baik yang benar maupun yang salah, untuk melihat Tuhan itu jauh lebih berkuasa atas hidup manusia.  

Shalom

0 komentar:

Posting Komentar