GKI DI TANAH PAPUA INJILI DAN OIKUMENIS
PENDAHULUAN
Logo GKI Di Tanah Papua |
Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua adalah Gereja yang
Injili dan Oikumenis sejak dulu (1956) sampai sekarang dan bahkan waktu yang
akan datang, selagi Allah berkenan. Ia akan tetap menjadi Gereja yang Injili
dan Oikumenis!. Selaras berkembangannya peradaban manusia yang semakin maju pesat
di segala bidang hidup, pluralitas sosial, etnis dan budaya senantiasa mewarnai
eksistensi hidup GKI Di Tanah Papua. Pulau di ujung timur Indonesia ini pun
mengundang kemajemukan agama pada satu pihak dan kekristenan di pihak lain,
dengan berbagai panorama dogmanya. GKI Di Tanah Papua merupakan Gereja tertua
yang tetap mengembang tugas panggilannya, bersekutu, bersaksi dan melayani,
baik secara internal dan eksternal sebagai bukti identitasnya yang Injili dan
Oikumenis.
Medan pelayanan GKI Di Tanah Papua begitu luas dan sulit, yang meliputi daerah
pesisir pantai utara, pantai selatan, ujung barat kepala burung, ujung timur
yang berbatasan dengan PNG dan daerah-daerah pegunungan menjadi panggung
penginjilan, baik di waktu yang lalu maupun di waktu sekarang ini. Daerah-daerah
suku terasing, daerah-daerah terpencil, pinggiran kota dan daerah perkotaan
dijadikannya sebagai basis penginjilan prioritas. Gereja ini tidak pernah
tinggal diam dan berlipattangan terhadap penginjilan di atas tanahnya,
melainkan ia ekstra aktif dalam menciptakan program-program, rencana-rencana
strategis dan langkah-langkah penggalangan dana bagi kerja penginjilan. Hal ini
memberi warna kuat bahwa GKI Di Tanah Papua adalah yang Injili untuk
menginjili.
SEJARAH PI : Landasan bagi
GKI Di Tanah Papua
Masuknya
Injil di tanah Papua (Mansinam,1855) merupakan anugerah Allah yang tak
terhingga. Dulunya Papua gelap kini menjadi terang, dulunya tidak beradab kini
menjadi beradab, Papua yang dulunya dianggap rendah, kini sejajar dengan dunia lain. Semuanya ini tidak terlepas
dari kerja keras dua rasul Papua, Ottow dan Geissler. Atas tuntunan Roh Kudus, sebagai
motivator ilahi, mereka membawa Injil masuk bumi cenderawasih, sebagai wujud
implementasi Amanat Agung Yesus Kristus yang terdokumentasikan dalam kitab
Injil Matius 28:19-20.
“Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan manusia..”,
demikian kata rasul Paulus dalam suratnya ke Roma (Rum. 1:16). Tidaka ada kuasa
lain yang dapat membatasi ruang dan waktu eksistensinya. Injil membuat yang
tidak mungkin menjadi mungkin di atas tanah Papua. Hadirnya Injil di tanah
Papua (1855) yang mengakibatkan banyak martir dan lahirnya GKI di Tanah Papua (1956),
yang walaupun pada waktu itu sangat prematur, merupakan bukti kongkrit dari
kuasa Injil Kristus itu.
Penginjil
tukang, Ottow dan Geissler, dan selanjutnya bersama Pdt. F.J.L van Hazelt, Jesrick,
Bink, Wolders dan jajaran zendeling UZV lainnya yang melanjutkan pekerjaan
zending tukan, serta kemudian guru-guru Ambon, Sanghie dan anak-anak asli
negeri Papua, sangat memberikan
kontribusi penting bag berdirinya GKI. Pdt. J. Mamoribo, dalam bukunya yang berjudul “Ottow dan Geissler (Rasul Papua
Barat)”, menegaskan bahwa nama Ottow dan
Geissler selalu disebut-sebut sebagai pelopor, perintis, yaitu pada waktu
memperingati Injil masuk di Papua (1855) dan GKI Di Tanah Papua berdiri sendiri
pada tanggal 26 Oktober 1956. Para
zendeling dipandang sebagai pemberani, pahlawan-pahlawan yang tidak menyerah
dalam memberitakan Injil.
Injil
adalah suatu “kebutuhan primer” yang wajib ditanamkan dalam segenap hidup orang
Papua. Apa pun alasannya, susah maupun senang, Injil tetap diberitakan oleh
zendeling dan suka atau pun tidak suka orang Papua harus menerimannya. Para
zendeling memiliki kerinduan besar
disertai kesetiaan kerja untuk membangun orang Papuan; menjadikan mereka
manusia Injili yang bersatu dalam persekutuan gereja yang Injili di atas tanah
yang dibaptis dengan Injil. Ottow dan Geissler, ketika sebelum mengikrarkan
“kredoa Mansinam”, In Gotes Name
Betraiten Wir Das Land (Dalam nama
Tuhan kami Menginjak Tanah ini), ada sebuah doa mendahului kredoa itu, yang
oleh Pdt. A. Yoku, S.Th, sebagai “doa ketika fajar mereka” : “kiranya terang Matahari yang sebenarnya
menerangi orang-orang Papua yang hidup dalam kegelapan kekafiran itu….”;
begitu juga suatu harapan dari Ottow dalam hidupnya ia selalu berkata : “O, sungguh besar rasa bahagianya kalau di
sana (sorga) dapat kita menemukan satu jiwa (orang Papua) yang telah menjadi
selamat melalui usaha kami!”. Semua ucapan itu merupakan suatu doa
pengharapan bahwa ketika tertentu orang-orang yang mendiami pulau Papua akan
menjadi manusia Injili yang menginjili bagi Tuhan.
Dengan semangat penginjilan yang
besar, UZV melanjutkan semua pekerjaan PI di tanah Papua yang ditinggalkan
Ottow dan Geissler. Lembaga zending ini
begitu serius memberi perhatian terhadap kekristenan dan kesejahteraan
orang-orang Papua (walaupun memang pernah
beberapa kali ia ingin tidak melanjutkan penginjilan di Papua, antara lain 1864
dan 1870). Pertama-tama UZV mengutus tiga orang zendeling masing-masing Van
Haasselt, Klaassen dan Otterspoor dan kemudian utusan-utusan zending lainnya.
Proses pengiriman tenaga-tenaga zending UZV berjalan terus sejak tahun 1863-1956.
GKI DI TANAH PAPUA ADALAH GEREJA
INJILI DAN OIKUMENIS
GKI di Tanah Papua mendeklarasikan
dirinya sebagai Gereja yang berdiri sendiri tidak terlepas dari sejarah zending
di Papua. Sejarah Zending di tanah Papua dan sejarah Gereja Kristen Injili di
Tanah Papua merupakan satu mata rantai yang
tidak dapat dipisahkan satu dan lainnya. Pendeta F.J.S. Rumainum menegaskan
“….GKI yang berdiri sendiri itulah hasil karya Zending selama satu abad di
Irian Barat yakni 1855-1956”.
Kalau masuknya Injil Kristus di
tanah Papua merupakan anugerah Tuhan yang besar, maka berdirinya GKI di tanah
Papua pun adalah anugerah pemberianNya. Sejarah lahir, bertumbuh dan
berkembangnya GKI di tanah Papua, pada prinsipnya dipahami dengan mata iman
kita bahwa semuanya ada di dalam bingkai
rencana dan rancangan Allah yang istimewa. Rencana dan rancangan berdirinya GKI
ini, dipersiapkan Allah melalui para utusanNya (zendeling) yang benar-benar
mencintai orang Papua, setia bekerja dan mengenal betul kehidupan budaya orang
Papua.
Menuju pada lahirnya GKI Di Tanah
Papua, proto synode (sinode persediaan)
dilangsungkan di Serui tahun 1954. Pendeta I.S.Kijne dan beberapa rekan
kerjanya mempunyai andil besar dalam penyusunan landasan Gereja Krsten Injili
di Tanah Papua. Perihal pembentukan gereja itu, Kijne lebih mengutamakan hal persekutuan atau persatuan sebagai suatu nilai yang penting dijaga dan
dipertahankan. Hal ini jelas tergambar pada Tata Gereja GKI tahun 1956 Bab I
pasal 1 “Gereja Kristen Injili di Nederlans Nieuw Guinea mengaku bahwa ialah persekutuan segala jemaat Kristen yang
menurut panggilan Tuhan dibangunkan di atas alas segala Rasul dan Nabi-Nabi dan
yang batu penjurunnya ialah : Yesus Kristus sendiri (Ef.2:20)”. Tentu saja isi
dari bab I Tata Gereja GKI di atas ini, menurut saya, merupakan suatu
dokumentasi dan kongkritisasi dari suatu pergumulan historis-teologis yang
panjang dalam sejarah pekabaran Injil di tanah Papua. Mengapa? Karena upaya
menghimpun dan merukunkan jemaat-jemaat ke dalam satu persekutuan tubuh Kristus
berlangsung selama satu abad lebih. GKI Di
Tanah Papua menjadi Gereja secara mandiri setelah seratus tahun zending.
Pergumulan historis yang amat lama ini disebabakan karena kondisi sosial dan
kultur serta karakter masyarakat Papua yang beraneka ragam. Selain itu, taraf
kehidupan orang Papua yang belum maju dan berkembang secara merata.
Konsep
berpikir I.S. Kijne untuk menuju pada suatu gereja yang Injili dan oikumenis
itu, sebenarnya tergambar jelas pada karyanya. Ia memiliki kesetiaan bekerja
yang sungguh luar biasa di tengah-tengah kehidupan orang Papua. Pendidikan menjadi prioritas utama baginya
untuk mendidik anak-anak negeri ini. Saat tiba di Papua, Kijne mengajar di
Mansinam (1923), di Miei (1925), di Yoka (1948-1951) dan menjelang terbentuk
dan sesuadah terbentuknya GKI, ia mengajar di Sekolah Teologi di Serui
(1955-1958). Baginya pendidikan merupakan wadah yang strategis demi pembentukan
manusia Papua yang Injili dan Oikumenis. Terbukti anak-anak didiknya (M. Abaa, B. Burwos, F. Huwae, M. Inauri, S.
Liborang, J. Mandowen, H. Marimosendi, E. Osok dan M. sada) yang pada
akhirnya memiliki paham kebersamaan itu duduk dan menyetujui pembentukan sebuah
Gereja yang mempersatukan semua orang, semua suku di Papua dalam satu Gereja
yang diberinama Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua (dulu= GKI di Nederland
Nieuw Guinea) pada konferensi zendeling
di Serui 1951.
Eksistensi GKI Di
Tanah Papua pada prinsipnya merupakan rancangan istimewanya Allah. Semua orang
Papua dari berbagai suku dipanggil dan dihimpunkan menjadi satu dalam satu
persekutuan yang harmonis sesuai landasan Alkitabiah (Yoh. 17:….). Amat perlu
dicatat bahwa terbentuknya Gereja ini bukan terbit dari kehendak nasionalisme
etnis (faham kesukuan) suatu suku tertentu, bahkan bukan suatu kehendak
politis, melainkan kehendak Tuhan yang besar. Karena itu, hadirnya GKI di Tanah
Papua sejak tahun berdirinya sungguh memiliki andil sebagai sabuk pengaman kekristenan di Papua
sampai dewasa ini. Ia hadir sebagai institusi
guna menumbuhkembangkan Injil yang sekian lama ditaburkan oleh zendeling
agar selalu berakar dan bertumbuh subur serta menghasilkan buah yang lebat.
Dengan demikian, permusuhan, peperangan antar suku, penjual-belian budak dan
sebagainya menjadi hilang; lalu diganti dengan pola hidup Injili berdasarkan
kasih Kristus, Kepala Gereja.
GKI DI TANAH PAPUA BUKANLAH GEREJA
ETNIS
Presensi
Injil Kristus di tanah Papua dan lahirnya GKI Di Tanah Papua secara devakto
organisasi adalah bukan untuk satu suku
tertentu melainkan untuk semua suku di tanah Papua. Alangkah kerdilnya pikiran
kita bila dikatakan bahwa hadirnya Injil dan hadirnya GKI di tanah Papua hanya
untuk suku tertentu semata. Bila ada konsep seperti itu, nampaknya ia mulai
mensisikan faham Injili dan Oikumenis yang telah dibangun sekian lama dalam
gereja ini.
Sejarah PI
dan sejarah GKI di Tanah Papua telah mencatata bahwa tanah ini dimenangkan oleh
Injil dan karena Injil itulah berdirilah GKI Di Tanah Papua. Faham nasionalisme
etnis tidak memiliki power menghadirkan Injil dan melahirkan GKI Di Tanah
Papua, melainkan satu-satunya kekuatan Injil Kristus.
Kita patut
mengucap syukur kepada Tuhan Yesus Kristus melalui tuntunan kuasa Roh Kudus,
GKI menjadi satu Gereja yang berdiri mandiri di tengah-tengah dunia ini dari
hasil pekerjaan penginjilan. Tuhan mempunyai rencana istimewa bagi tanah ini
sehingga GKI berdiri di atas dasar
pekerjaan para rasul dan para nabi yang batu penjurunya ialah Yesus Kristus
sendiri. Hakikat kehadiran Injil Kristus ialah mempersatukan segala suku,
bahasa dan budaya di atas tanah Papua dalam persekutuan tubuh Kristus. Bila
waktu lalu prinsip dasar teologi ini (yang
menurut saya telah menjadi ideologi GKI) tidak dibagun dan ditanamkan
sebelum GKI dinyatakan berdiri, sudah pasti di setiap daerah di atas tanah ini
berdirilah gereja-gereja suku. Tidak dapat dipungkiri bahwa rencana seperti itu
terlihat muncul, manakala Pdt. Markus yang menerbitkan suatu tata gereja sementara untuk
jemaat-jemaat di dalam resort Inanwatan. Niat ini secara radikal Kijne menolaknya di
tengah-tengah peserta konferensi zendeling tahun 1951 di Serui, dengan suatu
harapan agar gereja yang nantinya lahir itu menghimpun dan mempersatukan semua
orang Papua di antara sekian banyak suku dalam satu Gereja Kristen Injili Di
Tanah Papua.
Sikap tegas Kijne sejak dulu, kini menjadi
nyata pada kita semua bahwa GKI adalah Gereja Injili dan bukan Gereja etnis
sampai sekarang. Prinsip GKI tidak sama seperti Gereja HKBP di Sumatera Barat, Gereja
GKJW di Jawa dan beberapa gereja kesukuan lainnya yang ada di Indonesia.
Sebenarnya, Papua yang memiliki hampir kurang lebih 250-an suku bahasa, boleh
dikatakan, bisa memungkinkan lahirnya gereja-gereja kesukuan. Mengapa tanah
Papua tidak sama seperti dengan daerah-daerah lain misalnya Sumatera, Jawa,
Sulawesi, yang memiliki gereja-gereja kesukuan, padahal kalau mau dibilang
jumlah suku mereka seberapa saja? Menjawab
pertanyaan seperti ini ada tigal hal penting yang merupakan jawaban mendasar.
a. Jawaban Iman :
GKI menjadi Gereja Kristen Injili oleh karena kemurahan TUHAN. Prinsip dasar
kehadiran Kristus dalam dunia ini adalah demi persekutuan manusia dengan Pencipta,
dengan Sesama dan dengan Alam ciptaan Allah. Jadi, khususnya sesama manusia, Allah dominan
menganugrahi faham kebersamaan di tengah-tengah kemajemukan suku.
b. Jawaban Historis : Kalau Injil tidak hadir di tanah Papua, saya tidak
tahu, apa jadinya orang-orang di atas pulau itu. Tetapi oleh karena Injil itulah
para ZENDELING -Ottow, Geissler, van Haselt, Jesrick, Wolders, Binkh van
Bal….dll - berjuang bekerja keras agar sikap hidup lama menjadi baru; perang
berubah menjadi damai di antara suku, penjual-belian budak antar suku berubah
menjadi persaudaraan yang harmonis, dsb. Dengan adanya penanaman Injil dalam kehidupan orang
Papua, maka Injil itu menjadi pemersatu di antara setiap suku. Peran zendeling
adalah penanam bibit Injil yang walau pun tidak menuai tetapi telah ikut
menanam Injil pemersatu itu.
c. Jawaban Pastoral : I.S. KIJNE bukan sekedar pendidik melainkan sebagai
seorang motivator berdirinya GKI Di Tanah Papua. Faham Injilisme dan oikumenisme-keesaan
ditanamkan secara sistematis dan terarah kepada rekan-rekan kerjanya dan lebih
utama lagi kepada para muridnya yang kemudian hari menjadi pemimpin dalam
gereja GKI di tanah Papua. Suara profetis terus dikomandangkan tentang sebuah
nilai persekutuan bagi orang Papua di dalam keanekaragam suku dan bahasa. Oleh
karena faham seperti itulah maka GKI tidak lahir menjadi gereja suku melainkan
gereja Injili dan oikumenis.
Tiga jawaban di atas ini merupakan determina lahirnya
Gereja Kristen Injil Di Tanah Papua yang Injili dan Oikumenis. Hanya karena
anugerah Tuhan yang besar, para zendeling memberitakan Injil pemersatu bagi
orang Papua, dan melalui pastoral para pendiri menjadikan GKI sebagai gereja
Injili dan Oikumenis.
MENGINJILI KARENA DIINJILI
Sebagaimana
dikatakan di atas bahwa tidak ada satu kekuatan di bumi ini yang dapat
membatasi ruang dan waktu pekerjaan penginjilan. Injil memiliki kuasa yang
besar menembusi segala dinding penghalang. Ia bersifat dinamis, ibarat air
sungai yang terus mengalir tanpa batasnya.
Panggilan
memberitakan Injil kepada dunia merupakan tugas pokok setiap manusia, siapa pun
dia. Ottow dan Geissler bersama rekan-rekannya menginjili orang Papua karena
amanat Kristus, yaitu pergi dan memberitakan Kabar Baik bagi setiap manusia.
Ini dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab dan kesetiaan pada Sang
Pemanggil, Yesus Kristus. Orang-orang di Eropa, termasuk Ottow, Geissler, van
Hasselt dan para zendeling lainnya, merasa bahwa mereka menjadi orang Kristen
oleh karena diInjili. Karena itu, Injil yang telah menjadi bahagian hidup
mereka perlu disampaikan kepada suku-suku bangsa yang belum mengenal Injil
Keselamatan supaya memiliki Injil itu.
Beberapa
refleksi penting yang perlu diingat oleh kita sehubungan dengan tugas
menginjili oleh karena diinjili
a. Amat Agung Yesus Kristus (Mat. 28:19-20)
Semua Gereja di muka bumi ini memahami benar bahwa penginjilan merupakan tugas pokok yang tidak
mungki dikesampingkan. Amanat Kristus inilah yang menjadi fondasi alasan
sehingga baik indifidu manusia maupun institusi gereja tetap terus melaksanakan
pekerjaan penginjilan. Pekerjaan ini tidak akan berhenti, sampai si pemberi
Amanat itu yang memberhentikannya.
b. Nilai Pekerjaan Zendeling
Pekerjaan zendeling menjadi catatan historis yang
tidak dapat tidak dilupakan dalam sejarah perjalanan GKI Di Tanah Papua.
Zendeling meletakan dasar semangat penginjilan bagi Gereja di masa sekarang.
Pekerjaannya yang menyimpan nilai kesetiaan dan ketekunan yang sungguh-sungguh
cemerlang itu memberi kontribusi penting bagi dunia penginjilan di dalam gereja
dewasa ini. Seorang penginjil maupun seluruh warga gereja yang telah memenerima
tugas pemberitaan Injil itu, amatlah penting dan serius berkaca dari para
zendeling, baik yang berasal dari badan zending tukang, dari UZV, dari
guru-guru Ambon, Sanghie dan anak-anak negeri Papua, agar senantiasa mengikuti
jejak mereka untuk pemberitaan injil dewasa ini. Teringatlah saya akan suatu
pesanan historis dari seorang penginjil di era 1950-an, Grj. Y. Dimara (alm),
yang hampir menghabiskan waktu kerjanya di tengah-tengah masyarakat suku Arfak mengatakan
bahwa “GKI Di Tanah Papua adalah sebuah gereja yang dibangun bervondasikan ‘Roh
Kesetiaan’. Roh itu yang telah dimiliki oleh Ottow dan Geissler, Van
Hasselt dan rekan-rekan kerjanya dari UZV, para guru dari Ambon, Sanghie, serta
oleh para penginjil asal Papua, seperti Petrus Kafiar, Pdt. Rumainum, Pdt.
Abba, Pdt. Osok,… dsb, sehingga mereka bekerja dengan setia, walau menghadapi besarnya tantangan pada waktu
silam”.
Pesan historis yang dikemukakan GrJ. Y. Dimara di
atas, menurut saya, adalah suatu pesan yang memiliki nilai perjuangan dinamis
bagi seluruh warga dan para aktivis GKI yang terus mengembang tugas pekabaran
Injil di tanah Papua. Roh Kesetiaan itu masih tetap ada dan tetap terus ada
dalam gereja ini untuk mengingatkan kita
akan tugas itu.
INSTITUSI
GKI DALAM PENGINJILAN
Semenjak GKI Di Tanah Papua berdiri secara mandiri
sampai sekarang ini, pekerjaan Pekabaran Injil tetap dilaksanakan secara
kontinju. Pembukaan Naskah Tata Gereja Tahun 1984 Gereja Kristen Injili Di
Irian Jaya sungguh menegaskan bahwa GKI Di Tanah Papua “sebagai Gereja yang
dipanggil dan dibentuk Tuhan, maka Gereja Kristen Injili di Irian Jaya diutus
untuk memberitakan Injil Kerajaan Allah itu dalam bentuk Persekutuan, Kesaksian
dan Pelayanan Kasih”. Dalam hal ini,
amatlah jelas bagaimana pekerjaan pemberitaan Injil itu merupakan tugas pokok gereja
yang tidak mungkin diabaikan. Walau pun sangat diakui bahwa dinamika pekerjaan
Pekabaran Injil itu terkadang terjadi turun-naik dalam lingkungan GKI Di Tanah
Papua, namun apa pun alasannya, Pekabaran Injil tetap berjalan.
Berbicara tentang tugas pemberitaan Injil adalah
merupakan kewajiban semua orang percaya (gereja-imanen). Namun, secara
institusi-oragnisatoris, GKI memiliki Departemen yang langsung menangani tugas
pekabaran Injil pada aras Sinode, Komisi pada ruang lingkup Klasis dan Urusan
pada tingkat Jemaat. Semua aras ini memiliki garis koordinatif berkesinambungan
dalam rangka singkronisasi program mulai dari Sinode, Klasis sampai ke Jemaat.
Hal semacam ini ditahun-tahun sebelum sidang sinode di Wamena, tidak berjalan secara maksimal. Tetapi,
setelah Wamena, Departemen Pekabaran Injil Sinode, yang langsung dikoordinir
oleh Pdt. Didimus Watopa, S.Th, selaku Sekretaris DPI SInode GKI Di Tanah
Papua, memperlihatkan kinerjanya nyata demi pengembangan Pekabaran Injil secara
universal dan holistis terlihat jelas di atas permukaan aktifitas gereja. Untuk mengimplementasikan hasil-hasil Sidang Sinode
Wamena, BP Am
Sinode GKI Di Tanah Papua melakukan berbagai program prioritas dalam
rangka penyatuan persepsi dan eksien menyeluruh
melalui Konsolidasi Teologi di
Biak tahun 2006 yang dihadiri Departemen Pekabaran
Injil (DPI) dan Departemen Pembinaan Jemaat (DPJ).
Selanjutnya, dalam
rangka mengimplementasikan program kerja pekebaran Injil hasil Sidang Sinode
tersebut, Departemen Pekebaran Injil secara khusus melaksanakan Lokakarya
Bidang Pekabaran Injil di Puspenka Sentani pada November 2008, Rapat
Konsolidasi Kemitraan Bidang Pekabaran Injil di Serui, Mei 2009, dan Konferensi
Pekabaran Injil I di Timika, Juni 2009 dan Tentu semuanya ini bermuara pada: 1)
Susunbangun pemahaman (persepsi) Pekabaran Injil kepada dunia dan manusia yang
bukan Kristen untuk menjadi pengaku Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya,
dan memiliki strategi umum dalam pekabaran Injil. 2) Memiliki strategi khusus
pekabaran Injil dalam menyikapi berbagai persoalan dan masalah di berbagai
klasis dan bakal klasis di tanah Papua. 3) Melakukan mitra penginjilan baik
secara lokal, nasional dan internasional.
OBOR PENGINJILA GKI DI
TANAH PAPUA
1.
Latar
belakang Obor Penginjilan
Obor Penginjilan, atau yang sering dikenal dengan Obor
PI, yang telah dan sedang berlangsung di
seluruh persadah negeri Papua, tentunya saja tidak terlepas dari latarbelakang
pemikiran teologis historis para teolog Papua masa kini. Menurut penjelasan
Ketua Badan Pekerja Am Sinode GKI Di Tanah Papua, Pdt. Alberth Yoku, S.Th, ada beberapa alasan mendasar lahirnya
Obor Pekabaran Injil di tanah Papua.
Pertama, konsep Obor PI itu mulai dilaksanakan ketika GKI Di
Tanah Papua hendak merayakan Hut Pekabaran Injil ke-153 Injil di tanah Papua,
tepatnya di pulau Mansinam. Dalam rangka mempersiapkan perayaan Hut PI itu, Badan
Pekerja Am Sinode memilih Nyanyian Rohani 153 “Ya Tuhan, Rajaku” dan Kitab Injil
Yohanes 21:1-14 “Yesus menampakkan diri kepada murid-muridNya di pantai danau
Tiberias” sebagai landasan teologis Alkitabiah.
Dalam Nyanyian Rohani 153 ada satu kalimat yang menegaskan
bahwa “...dan aku bekerja menurut maksudMu,” memiliki nilai kepatuhan terhadap
perintah Yesus dalam melaksanakan tugas pelayanan demi mencapai hasil yang
maksimal. Sedangkan dalam Injil Yohanes 21:1-14 menjelaskan betapa sulitnya
para murid mendapatkan seekor ikan, dan saat ketika mereka mendengar suara
perintah Yesus untuk menebarkan jala ke sebelah kanan, maka hasil yang didapati
mereka sangatlah memukau. Semalaman para murid tidak memperoleh hasil ikan
apapun, tetapi saat mendengar perintah Yesus para murid mendapatkan hasil yang
begitu banyak, yaitu 153 ekor ikan jumlahnya.
Dua pandangan teologi di atas memberi makna tersendiri dalam
perayaan Hut PI 153, tahun 2008, bahwa harus ada jalan lain di tengah kegagalan
berpenginjilan, supaya ada hasil yang menggembirakan. Cara lain yang dipakai
dalam dunia penginjilan di tanah Papua adalah membuat Obor Pekabaran Injil, sebagai
inspirasi penginjilan dalam GKI Di Tanah Papua demi mencapai hasil yang
gemilang.
Obor PI merupakan lambang Terang Injil Kristus yang masih
bersinar menyinari seluruh tanah Papua. Pusat api itu adalah pulau Mansinam,
dan api itu telah dibawa oleh begitu banyak orang pekerja Tuhan (penginjil,
guru jemaat, penatua, syamas dan pendeta) sampai ke seluruh pelosok tanah
Papua. Dan supaya ada jalan lain untuk menghidupkan pekerjaan pekabaran Injil, maka
diambilah obor api itu, yang didesain ala tradisional suku Papua dari Pos
Pekabaran Injil Wombu (suku Miere dan Mairasi) di daerah pedalaman antara
Wondama dan Kaimana. Dari Pos PI itu Obor Api Pekabaran Injil diantar kembali
ke pulau Mansinam, sebagai tanda bahwa Injil sudah menerobos masuk dan tetap menyala
di wilayah-wilayah penduduk Papua yang sulit dijangkau. Itu bukti kongkrit
eksistensi Injil di tanah Papua.
Lewat kronologis Obor Api Penginjilan tahun 2008 ini, maka
simbolisasi semangat penginjila diasa kembali dari pusat pendaratan Injil
pertama kali, yaitu di Mansinam terus eksis ke semua daerah di tanah Papua,
seperti Hut PI yang ke-100 tahun di Maudori dan selanjutnya ke klasis-klasis
yang lain di tanah Papua. Inilah yang dipahami sebagai jalan lain dari
mendengar perintah Yesus itu, untuk mendorong semangat penginjilan di kalangan
GKI Di Tanah Papua, demi meraih keberhasilan yang ajaib.
2.
Obor
PI tetap menyalah mengelilingi tanah Papua
Bertolah dari latarbelakang sejarah Obor Api PI di atas,
hingga saat ini, semangat penginjilan dan motivasi memperingatu Hut Penginjilan
di setiap daerah di tanah Papua tetap terasa hingga saat ini. Obor Api PI itu tidak saja menyusuri pesisir pantai,
pulau dan dataran, tetapi ia pun mendaki lembah dan gunung sampai berada di
pusat katulistiwa Papua.
Mansinam
sebagai pusat dari Api Injil Kristus. Mansinam menabur dan seluruh tempat di
daerah Papua lainnya menuai. Mansinam sebagai pusat Injil itu bersinar, dan
seluruh Papua menerima hasil dari sinar Injil itu. Hal ini menjadi tanda yang
ajaib bahwa Papua identik dengan Injil. Benarlah kata Dr. F.C. Kamma, seorang
Theolog, Anthroplog dan Sosiolog Zendeling di Papua bahwa: “Jika orang menyebut
Irian Jaya (Papua), orang menyebut Injil Yesus Kristus.”
PENUTUP
Gereja Kristen Injili di Tanah Papua Injili dan Oikumenis
bukan karena ia yang membentuk dan menjadikan dirinya bersifat seperti itu,
melainkan Injil-lah yang telah menjadikan dirinya Injili dan Oikumenis.
Kehadiran Injil 1855 menjadi landasan teguh lahirnya GKI Di Tanah Papua (1956)
sebagai sebuah gereja di dunia ini yang bersifat Injili dan Oikumenis.
Oleh
karena sifat GKI Di Tanah Papua seperti itu, sejak Injil tiba di Papua dan GKI
Di Tanah Papua lahir secara mandiri hingga dewasa ini, status, kewibawaan dan
eksistensinya tidak pernah berubah sedikitpun. Ia tetap menunjukkan wajah dan
eksennya dalam dunia penginjilan kepada Papua, Indonesia dan dunia. Sifat
Injilnya itu diimplementasikan dalan segala gerak penginjilan di berbagai
pelosok tanah Papua; dan sifat Oikumenis gereja ini terus diwujudnyatakan dalam
membangun kebersamaan dengan gereja-gereja lain di Indonesia dan dunia. GKI Di
Tanah Papua telah menujukan kepada mata dunia umat Kristen, kalau ia tetap
menjadikan dirinya sebagai “surga kecil” di bumi ini, dan membagi syalom Allah
bagi segenap etins, suku, ras dan agama, yang hidup di atas tanah Papua. Dengan
demikian, bilamana Tuhan kembali dalam kemuliaanNya kelak, GKI Di Tanah Papua
telah menjadi saksi Tuhan di bumi ini, yang telah memenuhi Amat Agung Yesus
Kristus, yaitu bersekutu (koinonia), bersaksi (marturia) dan melayani
(diakonia).
***
0 komentar:
Posting Komentar