Minggu, 28 Juli 2019

Juli 28, 2019

GKI DI TANAH PAPUA INJILI DAN OIKUMENIS


 PENDAHULUAN
Logo GKI Di Tanah Papua
Pernakah kita tahu mimpi yang dipendamkan oleh Ottow dan Geissler saat menginjak dan menapakki kaki mereka di atas negeri cenderawasi bahwa suatu kelak nanti di atas negeri yang berpenduduk hitam dan keriting rambut ini, akan lahir sebuah gereja yang Injili dan Oikumenis? Dan apakah kedua rasul itu yakin bahwa kelak Gereja yang Injili dan Oikumenis itu akan melanjutkan visi dan misi penginjilan mereka? Tentu saja mimpi seperti itu tidak tersurat dalam catatan-catatan mereka yang ditinggalkan kepada kita, melainkan tersirat dalam kesetiaan dan karya mereka kepada Allah yang hidup.
Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua adalah Gereja yang Injili dan Oikumenis sejak dulu (1956) sampai sekarang dan bahkan waktu yang akan datang, selagi Allah berkenan. Ia akan tetap menjadi Gereja yang Injili dan Oikumenis!. Selaras berkembangannya peradaban manusia yang semakin maju pesat di segala bidang hidup, pluralitas sosial, etnis dan budaya senantiasa mewarnai eksistensi hidup GKI Di Tanah Papua. Pulau di ujung timur Indonesia ini pun mengundang kemajemukan agama pada satu pihak dan kekristenan di pihak lain, dengan berbagai panorama dogmanya. GKI Di Tanah Papua merupakan Gereja tertua yang tetap mengembang tugas panggilannya, bersekutu, bersaksi dan melayani, baik secara internal dan eksternal sebagai bukti identitasnya yang Injili dan Oikumenis.
Medan pelayanan GKI Di Tanah Papua begitu luas dan sulit, yang meliputi daerah pesisir pantai utara, pantai selatan, ujung barat kepala burung, ujung timur yang berbatasan dengan PNG dan daerah-daerah pegunungan menjadi panggung penginjilan, baik di waktu yang lalu maupun di waktu sekarang ini. Daerah-daerah suku terasing, daerah-daerah terpencil, pinggiran kota dan daerah perkotaan dijadikannya sebagai basis penginjilan prioritas. Gereja ini tidak pernah tinggal diam dan berlipattangan terhadap penginjilan di atas tanahnya, melainkan ia ekstra aktif dalam menciptakan program-program, rencana-rencana strategis dan langkah-langkah penggalangan dana bagi kerja penginjilan. Hal ini memberi warna kuat bahwa GKI Di Tanah Papua adalah yang Injili untuk menginjili.

SEJARAH PI : Landasan bagi GKI Di Tanah Papua
          Masuknya Injil di tanah Papua (Mansinam,1855) merupakan anugerah Allah yang tak terhingga. Dulunya Papua gelap kini menjadi terang, dulunya tidak beradab kini menjadi beradab, Papua yang dulunya dianggap rendah, kini sejajar dengan dunia lain. Semuanya ini tidak terlepas dari kerja keras dua rasul Papua, Ottow dan Geissler. Atas tuntunan Roh Kudus, sebagai motivator ilahi, mereka membawa Injil masuk bumi cenderawasih, sebagai wujud implementasi Amanat Agung Yesus Kristus yang terdokumentasikan dalam kitab Injil Matius 28:19-20.
          Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan manusia..”, demikian kata rasul Paulus dalam suratnya ke Roma (Rum. 1:16). Tidaka ada kuasa lain yang dapat membatasi ruang dan waktu eksistensinya. Injil membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin di atas tanah Papua. Hadirnya Injil di tanah Papua (1855) yang mengakibatkan banyak martir dan lahirnya GKI di Tanah Papua (1956), yang walaupun pada waktu itu sangat prematur, merupakan bukti kongkrit dari kuasa Injil Kristus itu.
          Penginjil tukang, Ottow dan Geissler, dan selanjutnya bersama Pdt. F.J.L van Hazelt, Jesrick, Bink, Wolders dan jajaran zendeling UZV lainnya yang melanjutkan pekerjaan zending tukan, serta kemudian guru-guru Ambon, Sanghie dan anak-anak asli negeri Papua,  sangat memberikan kontribusi penting bag berdirinya GKI. Pdt. J. Mamoribo, dalam bukunya  yang berjudul “Ottow dan Geissler (Rasul Papua Barat)”, menegaskan bahwa nama Ottow dan Geissler selalu disebut-sebut sebagai pelopor, perintis, yaitu pada waktu memperingati Injil masuk di Papua (1855) dan GKI Di Tanah Papua berdiri sendiri pada tanggal 26 Oktober 1956. Para zendeling dipandang sebagai pemberani, pahlawan-pahlawan yang tidak menyerah dalam memberitakan Injil.
          Injil adalah suatu “kebutuhan primer” yang wajib ditanamkan dalam segenap hidup orang Papua. Apa pun alasannya, susah maupun senang, Injil tetap diberitakan oleh zendeling dan suka atau pun tidak suka orang Papua harus menerimannya. Para zendeling memiliki kerinduan  besar disertai kesetiaan kerja untuk membangun orang Papuan; menjadikan mereka manusia Injili yang bersatu dalam persekutuan gereja yang Injili di atas tanah yang dibaptis dengan Injil. Ottow dan Geissler, ketika sebelum mengikrarkan “kredoa Mansinam”, In Gotes Name Betraiten Wir Das Land (Dalam nama Tuhan kami Menginjak Tanah ini), ada sebuah doa mendahului kredoa itu, yang oleh Pdt. A. Yoku, S.Th, sebagai “doa ketika fajar mereka” : “kiranya terang Matahari yang sebenarnya menerangi orang-orang Papua yang hidup dalam kegelapan kekafiran itu….”; begitu juga suatu harapan dari Ottow dalam hidupnya ia selalu berkata : “O, sungguh besar rasa bahagianya kalau di sana (sorga) dapat kita menemukan satu jiwa (orang Papua) yang telah menjadi selamat melalui usaha kami!”. Semua ucapan itu merupakan suatu doa pengharapan bahwa ketika tertentu orang-orang yang mendiami pulau Papua akan menjadi manusia Injili yang menginjili bagi Tuhan.
Dengan semangat penginjilan yang besar, UZV melanjutkan semua pekerjaan PI di tanah Papua yang ditinggalkan Ottow dan Geissler.  Lembaga zending ini begitu serius memberi perhatian terhadap kekristenan dan kesejahteraan orang-orang Papua (walaupun memang pernah beberapa kali ia ingin tidak melanjutkan penginjilan di Papua, antara lain 1864 dan 1870). Pertama-tama UZV mengutus tiga orang zendeling masing-masing Van Haasselt, Klaassen dan Otterspoor dan kemudian utusan-utusan zending lainnya. Proses pengiriman tenaga-tenaga zending UZV berjalan terus sejak tahun 1863-1956.

GKI DI TANAH PAPUA ADALAH GEREJA INJILI DAN OIKUMENIS
GKI di Tanah Papua mendeklarasikan dirinya sebagai Gereja yang berdiri sendiri tidak terlepas dari sejarah zending di Papua. Sejarah Zending di tanah Papua dan sejarah Gereja Kristen Injili di Tanah Papua merupakan satu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan satu dan lainnya. Pendeta F.J.S. Rumainum menegaskan “….GKI yang berdiri sendiri itulah hasil karya Zending selama satu abad di Irian Barat yakni 1855-1956”.
Kalau masuknya Injil Kristus di tanah Papua merupakan anugerah Tuhan yang besar, maka berdirinya GKI di tanah Papua pun adalah anugerah pemberianNya. Sejarah lahir, bertumbuh dan berkembangnya GKI di tanah Papua, pada prinsipnya dipahami dengan mata iman kita bahwa semuanya ada di dalam bingkai rencana dan rancangan Allah yang istimewa. Rencana dan rancangan berdirinya GKI ini, dipersiapkan Allah melalui para utusanNya (zendeling) yang benar-benar mencintai orang Papua, setia bekerja dan mengenal betul kehidupan budaya orang Papua.
Menuju pada lahirnya GKI Di Tanah Papua, proto synode (sinode persediaan) dilangsungkan di Serui tahun 1954. Pendeta I.S.Kijne dan beberapa rekan kerjanya mempunyai andil besar dalam penyusunan landasan Gereja Krsten Injili di Tanah Papua. Perihal pembentukan gereja itu, Kijne lebih mengutamakan hal persekutuan atau persatuan sebagai suatu nilai yang penting dijaga dan dipertahankan. Hal ini jelas tergambar pada Tata Gereja GKI tahun 1956 Bab I pasal 1 “Gereja Kristen Injili di Nederlans Nieuw Guinea mengaku bahwa  ialah persekutuan segala jemaat Kristen yang menurut panggilan Tuhan dibangunkan di atas alas segala Rasul dan Nabi-Nabi dan yang batu penjurunnya ialah : Yesus Kristus sendiri (Ef.2:20)”. Tentu saja isi dari bab I Tata Gereja GKI di atas ini, menurut saya, merupakan suatu dokumentasi dan kongkritisasi dari suatu pergumulan historis-teologis yang panjang dalam sejarah pekabaran Injil di tanah Papua. Mengapa? Karena upaya menghimpun dan merukunkan jemaat-jemaat ke dalam satu persekutuan tubuh Kristus berlangsung selama satu abad lebih. GKI Di Tanah Papua menjadi Gereja secara mandiri setelah seratus tahun zending. Pergumulan historis yang amat lama ini disebabakan karena kondisi sosial dan kultur serta karakter masyarakat Papua yang beraneka ragam. Selain itu, taraf kehidupan orang Papua yang belum maju dan berkembang secara merata.
          Konsep berpikir I.S. Kijne untuk menuju pada suatu gereja yang Injili dan oikumenis itu, sebenarnya tergambar jelas pada karyanya. Ia memiliki kesetiaan bekerja yang sungguh luar biasa di tengah-tengah kehidupan orang Papua.  Pendidikan menjadi prioritas utama baginya untuk mendidik anak-anak negeri ini. Saat tiba di Papua, Kijne mengajar di Mansinam (1923), di Miei (1925), di Yoka (1948-1951) dan menjelang terbentuk dan sesuadah terbentuknya GKI, ia mengajar di Sekolah Teologi di Serui (1955-1958). Baginya pendidikan merupakan wadah yang strategis demi pembentukan manusia Papua yang Injili dan Oikumenis. Terbukti anak-anak didiknya (M. Abaa, B. Burwos, F. Huwae, M. Inauri, S. Liborang, J. Mandowen, H. Marimosendi, E. Osok dan M. sada) yang pada akhirnya memiliki paham kebersamaan itu duduk dan menyetujui pembentukan sebuah Gereja yang mempersatukan semua orang, semua suku di Papua dalam satu Gereja yang diberinama Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua (dulu= GKI di Nederland Nieuw Guinea)  pada konferensi zendeling di Serui 1951.
Eksistensi  GKI Di Tanah Papua pada prinsipnya merupakan rancangan istimewanya Allah. Semua orang Papua dari berbagai suku dipanggil dan dihimpunkan menjadi satu dalam satu persekutuan yang harmonis sesuai landasan Alkitabiah (Yoh. 17:….). Amat perlu dicatat bahwa terbentuknya Gereja ini bukan terbit dari kehendak nasionalisme etnis (faham kesukuan) suatu suku tertentu, bahkan bukan suatu kehendak politis, melainkan kehendak Tuhan yang besar. Karena itu, hadirnya GKI di Tanah Papua sejak tahun berdirinya sungguh memiliki andil sebagai sabuk pengaman kekristenan di Papua sampai dewasa ini. Ia hadir sebagai institusi  guna menumbuhkembangkan Injil yang sekian lama ditaburkan oleh zendeling agar selalu berakar dan bertumbuh subur serta menghasilkan buah yang lebat. Dengan demikian, permusuhan, peperangan antar suku, penjual-belian budak dan sebagainya menjadi hilang; lalu diganti dengan pola hidup Injili berdasarkan kasih Kristus, Kepala Gereja.

GKI DI TANAH PAPUA BUKANLAH GEREJA ETNIS
          Presensi Injil Kristus di tanah Papua dan lahirnya GKI Di Tanah Papua secara devakto organisasi adalah  bukan untuk satu suku tertentu melainkan untuk semua suku di tanah Papua. Alangkah kerdilnya pikiran kita bila dikatakan bahwa hadirnya Injil dan hadirnya GKI di tanah Papua hanya untuk suku tertentu semata. Bila ada konsep seperti itu, nampaknya ia mulai mensisikan faham Injili dan Oikumenis yang telah dibangun sekian lama dalam gereja ini.
          Sejarah PI dan sejarah GKI di Tanah Papua telah mencatata bahwa tanah ini dimenangkan oleh Injil dan karena Injil itulah berdirilah GKI Di Tanah Papua. Faham nasionalisme etnis tidak memiliki power menghadirkan Injil dan melahirkan GKI Di Tanah Papua, melainkan satu-satunya kekuatan Injil Kristus.
          Kita patut mengucap syukur kepada Tuhan Yesus Kristus melalui tuntunan kuasa Roh Kudus, GKI menjadi satu Gereja yang berdiri mandiri di tengah-tengah dunia ini dari hasil pekerjaan penginjilan. Tuhan mempunyai rencana istimewa bagi tanah ini sehingga GKI berdiri di atas  dasar pekerjaan para rasul dan para nabi yang batu penjurunya ialah Yesus Kristus sendiri. Hakikat kehadiran Injil Kristus ialah mempersatukan segala suku, bahasa dan budaya di atas tanah Papua dalam persekutuan tubuh Kristus. Bila waktu lalu prinsip dasar teologi ini (yang menurut saya telah menjadi ideologi GKI) tidak dibagun dan ditanamkan sebelum GKI dinyatakan berdiri, sudah pasti di setiap daerah di atas tanah ini berdirilah gereja-gereja suku. Tidak dapat dipungkiri bahwa rencana seperti itu terlihat muncul, manakala Pdt. Markus yang menerbitkan suatu tata gereja sementara untuk jemaat-jemaat di dalam resort Inanwatan. Niat ini secara radikal Kijne menolaknya di tengah-tengah peserta konferensi zendeling tahun 1951 di Serui, dengan suatu harapan agar gereja yang nantinya lahir itu menghimpun dan mempersatukan semua orang Papua di antara sekian banyak suku dalam satu Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua. 
Sikap tegas Kijne sejak dulu, kini menjadi nyata pada kita semua bahwa GKI adalah Gereja Injili dan bukan Gereja etnis sampai sekarang. Prinsip GKI tidak sama seperti Gereja HKBP di Sumatera Barat, Gereja GKJW di Jawa dan beberapa gereja kesukuan lainnya yang ada di Indonesia. Sebenarnya, Papua yang memiliki hampir kurang lebih 250-an suku bahasa, boleh dikatakan, bisa memungkinkan lahirnya gereja-gereja kesukuan. Mengapa tanah Papua tidak sama seperti dengan daerah-daerah lain misalnya Sumatera, Jawa, Sulawesi, yang memiliki gereja-gereja kesukuan, padahal kalau mau dibilang jumlah suku mereka seberapa saja? Menjawab pertanyaan seperti ini ada tigal hal penting yang merupakan jawaban mendasar.
a.      Jawaban Iman : GKI menjadi Gereja Kristen Injili oleh karena kemurahan TUHAN. Prinsip dasar kehadiran Kristus dalam dunia ini adalah demi persekutuan manusia dengan Pencipta, dengan Sesama dan dengan Alam ciptaan Allah. Jadi, khususnya sesama manusia, Allah dominan menganugrahi faham kebersamaan di tengah-tengah kemajemukan suku.
b.        Jawaban Historis : Kalau Injil tidak hadir di tanah Papua, saya tidak tahu, apa jadinya orang-orang di atas pulau itu. Tetapi oleh karena Injil itulah para ZENDELING -Ottow, Geissler, van Haselt, Jesrick, Wolders, Binkh van Bal….dll - berjuang bekerja keras agar sikap hidup lama menjadi baru; perang berubah menjadi damai di antara suku, penjual-belian budak antar suku berubah menjadi persaudaraan yang harmonis, dsb. Dengan adanya penanaman Injil dalam kehidupan orang Papua, maka Injil itu menjadi pemersatu di antara setiap suku. Peran zendeling adalah penanam bibit Injil yang walau pun tidak menuai tetapi telah ikut menanam Injil pemersatu itu.
c.       Jawaban Pastoral : I.S. KIJNE bukan sekedar pendidik melainkan sebagai seorang motivator berdirinya GKI Di Tanah Papua. Faham Injilisme dan oikumenisme-keesaan ditanamkan secara sistematis dan terarah kepada rekan-rekan kerjanya dan lebih utama lagi kepada para muridnya yang kemudian hari menjadi pemimpin dalam gereja GKI di tanah Papua. Suara profetis terus dikomandangkan tentang sebuah nilai persekutuan bagi orang Papua di dalam keanekaragam suku dan bahasa. Oleh karena faham seperti itulah maka GKI tidak lahir menjadi gereja suku melainkan gereja Injili dan oikumenis.
Tiga jawaban di atas ini merupakan determina lahirnya Gereja Kristen Injil Di Tanah Papua yang Injili dan Oikumenis. Hanya karena anugerah Tuhan yang besar, para zendeling memberitakan Injil pemersatu bagi orang Papua, dan melalui pastoral para pendiri menjadikan GKI sebagai gereja Injili dan Oikumenis.

MENGINJILI KARENA DIINJILI
          Sebagaimana dikatakan di atas bahwa tidak ada satu kekuatan di bumi ini yang dapat membatasi ruang dan waktu pekerjaan penginjilan. Injil memiliki kuasa yang besar menembusi segala dinding penghalang. Ia bersifat dinamis, ibarat air sungai yang terus mengalir tanpa batasnya.
          Panggilan memberitakan Injil kepada dunia merupakan tugas pokok setiap manusia, siapa pun dia. Ottow dan Geissler bersama rekan-rekannya menginjili orang Papua karena amanat Kristus, yaitu pergi dan memberitakan Kabar Baik bagi setiap manusia. Ini dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab dan kesetiaan pada Sang Pemanggil, Yesus Kristus. Orang-orang di Eropa, termasuk Ottow, Geissler, van Hasselt dan para zendeling lainnya, merasa bahwa mereka menjadi orang Kristen oleh karena diInjili. Karena itu, Injil yang telah menjadi bahagian hidup mereka perlu disampaikan kepada suku-suku bangsa yang belum mengenal Injil Keselamatan supaya memiliki Injil itu.
          Beberapa refleksi penting yang perlu diingat oleh kita sehubungan dengan tugas menginjili oleh karena diinjili

 a.       Amat Agung Yesus Kristus (Mat. 28:19-20)
Semua Gereja di muka bumi ini memahami benar bahwa  penginjilan merupakan tugas pokok yang tidak mungki dikesampingkan. Amanat Kristus inilah yang menjadi fondasi alasan sehingga baik indifidu manusia maupun institusi gereja tetap terus melaksanakan pekerjaan penginjilan. Pekerjaan ini tidak akan berhenti, sampai si pemberi Amanat itu yang memberhentikannya.
b.      Nilai Pekerjaan Zendeling
Pekerjaan zendeling menjadi catatan historis yang tidak dapat tidak dilupakan dalam sejarah perjalanan GKI Di Tanah Papua. Zendeling meletakan dasar semangat penginjilan bagi Gereja di masa sekarang. Pekerjaannya yang menyimpan nilai kesetiaan dan ketekunan yang sungguh-sungguh cemerlang itu memberi kontribusi penting bagi dunia penginjilan di dalam gereja dewasa ini. Seorang penginjil maupun seluruh warga gereja yang telah memenerima tugas pemberitaan Injil itu, amatlah penting dan serius berkaca dari para zendeling, baik yang berasal dari badan zending tukang, dari UZV, dari guru-guru Ambon, Sanghie dan anak-anak negeri Papua, agar senantiasa mengikuti jejak mereka untuk pemberitaan injil dewasa ini. Teringatlah saya akan suatu pesanan historis dari seorang penginjil di era 1950-an, Grj. Y. Dimara (alm), yang hampir menghabiskan waktu kerjanya di tengah-tengah masyarakat suku Arfak mengatakan bahwa “GKI Di Tanah Papua adalah sebuah gereja yang dibangun bervondasikan ‘Roh Kesetiaan’. Roh itu yang telah dimiliki oleh Ottow dan Geissler, Van Hasselt dan rekan-rekan kerjanya dari UZV, para guru dari Ambon, Sanghie, serta oleh para penginjil asal Papua, seperti Petrus Kafiar, Pdt. Rumainum, Pdt. Abba, Pdt. Osok,… dsb, sehingga mereka bekerja dengan setia, walau  menghadapi besarnya tantangan pada waktu silam”.
Pesan historis yang dikemukakan GrJ. Y. Dimara di atas, menurut saya, adalah suatu pesan yang memiliki nilai perjuangan dinamis bagi seluruh warga dan para aktivis GKI yang terus mengembang tugas pekabaran Injil di tanah Papua. Roh Kesetiaan itu masih tetap ada dan tetap terus ada dalam gereja ini untuk mengingatkan  kita akan tugas itu. 

INSTITUSI GKI DALAM PENGINJILAN
          Semenjak GKI Di Tanah Papua berdiri secara mandiri sampai sekarang ini, pekerjaan Pekabaran Injil tetap dilaksanakan secara kontinju. Pembukaan Naskah Tata Gereja Tahun 1984 Gereja Kristen Injili Di Irian Jaya sungguh menegaskan bahwa GKI Di Tanah Papua “sebagai Gereja yang dipanggil dan dibentuk Tuhan, maka Gereja Kristen Injili di Irian Jaya diutus untuk memberitakan Injil Kerajaan Allah itu dalam bentuk Persekutuan, Kesaksian dan Pelayanan Kasih”.  Dalam hal ini, amatlah jelas bagaimana pekerjaan pemberitaan Injil itu merupakan tugas pokok gereja yang tidak mungkin diabaikan. Walau pun sangat diakui bahwa dinamika pekerjaan Pekabaran Injil itu terkadang terjadi turun-naik dalam lingkungan GKI Di Tanah Papua, namun apa pun alasannya, Pekabaran Injil tetap berjalan.
                    Berbicara tentang tugas pemberitaan Injil adalah merupakan kewajiban semua orang percaya (gereja-imanen). Namun, secara institusi-oragnisatoris, GKI memiliki Departemen yang langsung menangani tugas pekabaran Injil pada aras Sinode, Komisi pada ruang lingkup Klasis dan Urusan pada tingkat Jemaat. Semua aras ini memiliki garis koordinatif berkesinambungan dalam rangka singkronisasi program mulai dari Sinode, Klasis sampai ke Jemaat. Hal semacam ini ditahun-tahun sebelum sidang sinode di Wamena, tidak berjalan secara maksimal. Tetapi, setelah Wamena, Departemen Pekabaran Injil Sinode, yang langsung dikoordinir oleh Pdt. Didimus Watopa, S.Th, selaku Sekretaris DPI SInode GKI Di Tanah Papua, memperlihatkan kinerjanya nyata demi pengembangan Pekabaran Injil secara universal dan holistis terlihat jelas di atas permukaan aktifitas gereja. Untuk mengimplementasikan hasil-hasil Sidang Sinode Wamena, BP Am Sinode GKI Di Tanah Papua melakukan berbagai program prioritas dalam rangka penyatuan persepsi dan eksien menyeluruh melalui Konsolidasi Teologi di Biak tahun 2006 yang dihadiri Departemen Pekabaran Injil (DPI) dan Departemen Pembinaan Jemaat (DPJ).
 Selanjutnya, dalam rangka mengimplementasikan program kerja pekebaran Injil hasil Sidang Sinode tersebut, Departemen Pekebaran Injil secara khusus melaksanakan Lokakarya Bidang Pekabaran Injil di Puspenka Sentani pada November 2008, Rapat Konsolidasi Kemitraan Bidang Pekabaran Injil di Serui, Mei 2009, dan Konferensi Pekabaran Injil I di Timika, Juni 2009 dan  Tentu semuanya ini bermuara pada: 1) Susunbangun pemahaman (persepsi) Pekabaran Injil kepada dunia dan manusia yang bukan Kristen untuk menjadi pengaku Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya, dan memiliki strategi umum dalam pekabaran Injil. 2) Memiliki strategi khusus pekabaran Injil dalam menyikapi berbagai persoalan dan masalah di berbagai klasis dan bakal klasis di tanah Papua. 3) Melakukan mitra penginjilan baik secara lokal, nasional dan internasional.

OBOR PENGINJILA GKI DI TANAH PAPUA
1.                 Latar belakang Obor Penginjilan
Obor Penginjilan, atau yang sering dikenal dengan Obor PI,  yang telah dan sedang berlangsung di seluruh persadah negeri Papua, tentunya saja tidak terlepas dari latarbelakang pemikiran teologis historis para teolog Papua masa kini. Menurut penjelasan Ketua Badan Pekerja Am Sinode GKI Di Tanah Papua, Pdt. Alberth Yoku, S.Th, ada beberapa alasan mendasar lahirnya Obor Pekabaran Injil di tanah Papua.
Pertama, konsep Obor PI itu mulai dilaksanakan ketika GKI Di Tanah Papua hendak merayakan Hut Pekabaran Injil ke-153 Injil di tanah Papua, tepatnya di pulau Mansinam. Dalam rangka mempersiapkan perayaan Hut PI itu, Badan Pekerja Am Sinode memilih Nyanyian Rohani 153 “Ya Tuhan, Rajaku” dan Kitab Injil Yohanes 21:1-14 “Yesus menampakkan diri kepada murid-muridNya di pantai danau Tiberias” sebagai landasan teologis Alkitabiah.
Dalam Nyanyian Rohani 153 ada satu kalimat yang menegaskan bahwa “...dan aku bekerja menurut maksudMu,” memiliki nilai kepatuhan terhadap perintah Yesus dalam melaksanakan tugas pelayanan demi mencapai hasil yang maksimal. Sedangkan dalam Injil Yohanes 21:1-14 menjelaskan betapa sulitnya para murid mendapatkan seekor ikan, dan saat ketika mereka mendengar suara perintah Yesus untuk menebarkan jala ke sebelah kanan, maka hasil yang didapati mereka sangatlah memukau. Semalaman para murid tidak memperoleh hasil ikan apapun, tetapi saat mendengar perintah Yesus para murid mendapatkan hasil yang begitu banyak, yaitu 153 ekor ikan jumlahnya.
Dua pandangan teologi di atas memberi makna tersendiri dalam perayaan Hut PI 153, tahun 2008, bahwa harus ada jalan lain di tengah kegagalan berpenginjilan, supaya ada hasil yang menggembirakan. Cara lain yang dipakai dalam dunia penginjilan di tanah Papua adalah membuat Obor Pekabaran Injil, sebagai inspirasi penginjilan dalam GKI Di Tanah Papua demi mencapai hasil yang gemilang.
Obor PI merupakan lambang Terang Injil Kristus yang masih bersinar menyinari seluruh tanah Papua. Pusat api itu adalah pulau Mansinam, dan api itu telah dibawa oleh begitu banyak orang pekerja Tuhan (penginjil, guru jemaat, penatua, syamas dan pendeta) sampai ke seluruh pelosok tanah Papua. Dan supaya ada jalan lain untuk menghidupkan pekerjaan pekabaran Injil, maka diambilah obor api itu, yang didesain ala tradisional suku Papua dari Pos Pekabaran Injil Wombu (suku Miere dan Mairasi) di daerah pedalaman antara Wondama dan Kaimana. Dari Pos PI itu Obor Api Pekabaran Injil diantar kembali ke pulau Mansinam, sebagai tanda bahwa Injil sudah menerobos masuk dan tetap menyala di wilayah-wilayah penduduk Papua yang sulit dijangkau. Itu bukti kongkrit eksistensi Injil di tanah Papua.
Lewat kronologis Obor Api Penginjilan tahun 2008 ini, maka simbolisasi semangat penginjila diasa kembali dari pusat pendaratan Injil pertama kali, yaitu di Mansinam terus eksis ke semua daerah di tanah Papua, seperti Hut PI yang ke-100 tahun di Maudori dan selanjutnya ke klasis-klasis yang lain di tanah Papua. Inilah yang dipahami sebagai jalan lain dari mendengar perintah Yesus itu, untuk mendorong semangat penginjilan di kalangan GKI Di Tanah Papua, demi meraih keberhasilan yang ajaib.
2.                 Obor PI tetap menyalah mengelilingi tanah Papua
Bertolah dari latarbelakang sejarah Obor Api PI di atas, hingga saat ini, semangat penginjilan dan motivasi memperingatu Hut Penginjilan di setiap daerah di tanah Papua tetap terasa hingga saat ini. Obor Api PI itu tidak saja menyusuri pesisir pantai, pulau dan dataran, tetapi ia pun mendaki lembah dan gunung sampai berada di pusat katulistiwa Papua.
Mansinam sebagai pusat dari Api Injil Kristus. Mansinam menabur dan seluruh tempat di daerah Papua lainnya menuai. Mansinam sebagai pusat Injil itu bersinar, dan seluruh Papua menerima hasil dari sinar Injil itu. Hal ini menjadi tanda yang ajaib bahwa Papua identik dengan Injil. Benarlah kata Dr. F.C. Kamma, seorang Theolog, Anthroplog dan Sosiolog Zendeling di Papua bahwa: “Jika orang menyebut Irian Jaya (Papua), orang menyebut Injil Yesus Kristus.”

PENUTUP
Gereja Kristen Injili di Tanah Papua Injili dan Oikumenis bukan karena ia yang membentuk dan menjadikan dirinya bersifat seperti itu, melainkan Injil-lah yang telah menjadikan dirinya Injili dan Oikumenis. Kehadiran Injil 1855 menjadi landasan teguh lahirnya GKI Di Tanah Papua (1956) sebagai sebuah gereja di dunia ini yang bersifat Injili dan Oikumenis.
          Oleh karena sifat GKI Di Tanah Papua seperti itu, sejak Injil tiba di Papua dan GKI Di Tanah Papua lahir secara mandiri hingga dewasa ini, status, kewibawaan dan eksistensinya tidak pernah berubah sedikitpun. Ia tetap menunjukkan wajah dan eksennya dalam dunia penginjilan kepada Papua, Indonesia dan dunia. Sifat Injilnya itu diimplementasikan dalan segala gerak penginjilan di berbagai pelosok tanah Papua; dan sifat Oikumenis gereja ini terus diwujudnyatakan dalam membangun kebersamaan dengan gereja-gereja lain di Indonesia dan dunia. GKI Di Tanah Papua telah menujukan kepada mata dunia umat Kristen, kalau ia tetap menjadikan dirinya sebagai “surga kecil” di bumi ini, dan membagi syalom Allah bagi segenap etins, suku, ras dan agama, yang hidup di atas tanah Papua. Dengan demikian, bilamana Tuhan kembali dalam kemuliaanNya kelak, GKI Di Tanah Papua telah menjadi saksi Tuhan di bumi ini, yang telah memenuhi Amat Agung Yesus Kristus, yaitu bersekutu (koinonia), bersaksi (marturia) dan melayani (diakonia).

***
         



0 komentar:

Posting Komentar