Minggu, 08 September 2019

September 08, 2019
1
 SIKAP PEMERINTAH DAN GEREJA
TERHADAP ORANG PAPUA
(Sekilas sejarah harga diri orang Papua di persimpangan jalan)


Peradaban orang Papua dimulai dari pekerjaan para zendeling dari Eropa. Mulanya oleh dua orang zendeling tukang berkebangsaan Jerman, Ottow dan Geissler, dan kemudian dilanjutkan oleh sejumlah zendeling asal Belanda. Pada saat itu, orang-orang Papua mulai mengenal apa yang dinamakan peradaban modern.
Pada satu sisi misi pemberdayaan manusia religius Papua berjalan mengikuti waktu, di sisi lain misi politik penguasa negeri Belanda pun berpacu di rimba raya Papua yang masih perawan. Peran kedua misi ini tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, karena mereka adalah saudara kembar dari kandungan ibu yang sama, yaitu negeri Belanda (Nederland). Semuanya berjalan baik-baik saja, berjalan mengikuti waktu sejarah Papua.
Tetapi, menjelang akhir Perang Dunia II dan kekuasaan politik Belanda di Indonesia 1949, misi politik Belanda dan Indonesia kembali lagi membara akibat tarik-menari persoalan pulau Papua. Berbagai perdebatan politik internasional antarkedua bangsa ini akhirnya berhenti, saat UNTEA mengambil alih kekuasaan atas Papua dari tangan Belanda 1962. Setahun kemudian, 1963, UNTEA secara resmi menyerahkan hak sepenuhnya pulau Papua ke tangan Indonesia sampai pelaksanaan PEPERA 1969. Di tahun inilah Papua secara resmi diakui masyarakat internasional sebagai bagian integral dari NKRI yang tidak dapat dipisahkan sampai sekarang ini.
Belajar dari perjalan sejarah bangsa Papua, baik dari masa pemerintahan Belanda dan selanjutnya Indonesia, berbagai panorama penderitaan mengiringi derap langkah hidup orang-orang Papua. Berbagai upaya menjadikan ras Melanesia ini sebagai suatu bangsa yang mandiri dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia, tidak mencapai titik terang sampai saat ini. Maka muncullah sikap apatis, pesimistis dan opini mengalah  terhadap mimpi akan kebebasan itu.
Pemaparan tulisan saya kali ini, bukanya merangsang emosi dan rasa dendam yang mendalam terhadap Indonesia (sebagai bangsa pemiliki Papua sekarang ini), dan juga bukan untuk saling mempersalahkan pelaku sejarah masa lalu. Tetapi saya, pada prinsipnya rindu sekali mengajak Anda sekalian untuk melihat keberadaan bangsa Papua di dalam bingkai NKRI ini; apakah merupakan bagian dalam rancangan Tuhan, ataukah sesuatu yang kebetulan saja terjadi atas negeri kita? Ini yang hendak saya sampaikan pada Anda sekalian.

SIKAP PEMERINTAH DAN GEREJA TERHADAP ORANG PAPUA
Dalam bagian ini kita akan melihat bagaimana peran dari Pemerintah Belanda dan Zending/Gereja, terhadap keberadaan masyarakat Papua di atas tanahnya sendiri, dan pula dalam kaitannya dengan politik yang terjadi di masa lalu. Tahukah Anda tentang peran orang-orang Papua dalam pentas politik, baik lokal, nasional dan internasional di Papua? Dan, tahukah Anda sejauh mana peran orang-orang Papua  dalam status daerahnya? Ini pertanyaan yang mengukur peran orang-orang Papua dalam menentukan nasibnya sendiri di waktu silam. Mari kita lihat beberapa penjelasan saya di bawah ini.

1.     Sikap Pemerintah Belanda
Jauh sebelumnya, ketika Belanda masih menjajah Indonesia, tanah Papua (Nieuw Guinea) merupakan satu wilayah jajahan Belanda yang kurang diperhatikan. Pulau Papua hanya sekedar benteng pertahanan politik internasional, karena ia berbatasan dengan Papua Timur, wilayah jajahan Inggris yang dikuasai oleh Australia. Selain letak geografis yang begitu luas alam dan iklim yang tidak bersahabat, Papua, dari sudut pandang bisnis internasional, ia tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah Hindia Belanda di Batavia.
Dalam dunia pendidikan, para zendeling berupaya sekeras mungkin memberdayakan anak-anak Papua untuk lebih cepat maju dalam segala pengetahuan di segala bidang, dibanding dengan peranan pemerintah Hindia Belanda di Papua.  Sekolah-sekolah hasil prakarsa lembaga Zending di Belanda, tidak diperhatian dan difasilitasi secara baik oleh pemerintah Belanda. Anak-anak asli Papua akan masuk pada lembaga pendidikan pemerintah, bila mereka diperkenankan memiliki ideks prestasi yang lebih tinggi. Sehingga tidak dapat disangkal bila jumlah anak-anak Papua terlihat begitu kurang dihasilkan oleh lembaga pendidikan pemerintah Belanda. Kesempatan berpendidikan bagi anak-anak Papua oleh pemerintah Belanda begitu sempit. Sehingga pemberdayaan sumber daya manusia Papua berjalan begitu lambat. Hal semacam ini bila dibandingkan dengan peranan Zending di Papua, sungguh jauh berbeda. Para zendeling tidak membangun sebuah diskriminasi pendidikan dan ras, melainkan lebih sungguh-sungguh memprioritaskan kualitas rohani dan sumber daya manusia Papua.  Jangan heran bila dikemudian hari, saat Belanda hendak membangun status politiknya di Papau, banyak hasil pekerjaan Zending yang dipakai pemerintah untuk maksudnya.
Sesudah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Pemerintah Kerajaan Belanda kemudian memutuskan dalam UU-nya bahwa Papua merupakan wilayah kekuasaannya (kemudian di tahun 1950, Belanda mengeluarkan lagi UU No. 1 untuk mempertegas  UU di tahun 1945). Nanti kemudian tahun 1949, barulah Belanda secara resmi menyerahkan sepenuhnya kedaulatan kemerdekaan Indonesia. Namun, status Papua belum juga dituntaskan secara baik karena tarik-menari pulau ini belum mencapai kesepakatan bersama. Belanda mengklaim Papua tidak memiliki hubungan nasionalisme dengan Indonesia, dan lagi pula sumber daya manusia di pulau tersebut masih belum mapan. Sehingga Belanda pingin membangunnya untuk maju lebih baik. Selain itu, ada maksud Pemerintah Belanda menjadikan pulau Papua sebagai tempat tinggal dari sejumlah penduduk Belanda yang ada di Indonesia, khususnya mereka yang peranakan Belanda-Indonesia. Alasan ini tidak diterima oleh Indonesia, sebab ia berpegang teguh pada pencetusan proklamasinya bahwa Papua juga merupakan bagian jajahan Belanda yang merupakan wilayah kesatuan bangsa Indonesia (dari Sabang sampai Merauke).
Bertolak dari azas maksud Belanda di atas, maka ia mulai mempersiapkan bangsa Papua untuk merdeka sendiri, dengan memulai misi pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM) Papua, dimana ia membuka beberapa sekolah penting seperti: sekolah Polisi Umum di Ifar Gunung (1946), Sekolah Bestir (Pamong Praja) untuk pemuda-pemuda Papua (1946-1948). Selain itu, Belanda juga mendirikan Pasukan Pembantu Batalion di kota NICA (Netherlands Indies Civil Adminstration) di dataran Ohoro (kini disebut Kampung Harapan) Sentani.
Pada tahun 1961 orang-orang Papua yang dipandang pro-Belanda mulai dipilih masuk Nieuw Guinea Raad (Dewan New Guinea/Dewan Papua) menjadi anggota parlemen pertama orang Papua dan untuk bertanggungjawab merancang dan melaksanakan kemerdekaan penuh bagi tanah Papua.  Lagu kebangsaan, bendera nasional, nama negara dan mata uang negara dibuat di tahun ini. Pada akhirnya pada tanggal 1 Desember 1961, kemerdekaan Papua Barat dicetuskan di Holandia (sekarang Jayapura). Karena sikap politik Belanda yang dirasa tidak konsekuen dengan keputusan internasional kedua negara, maka pada tahun yang sama (1961), Presiden NKRI, Soekarno, untuk pertama kalinya dengan tegas menyikapi pengibaran bendera Bintang Kejora tersebut. Soekarno yang dijuluki sebagai tokoh Revolusioner Indonesia mencetuskan Trikora, dengan menurunkan 2000 ABRI merebut Papua (Irian Barat). Karena kondis politik seperti itu, lahirlah Perjanjian New York (15 Agustus 1962) yang disponsori oleh Amerika Serikat atas pengawasan PBB, untuk menyelesaikan sengketa Belanda-Indonesia tentang Papua Barat. Sebulan kemudian (30 September 1962) dicetuskan lagi Perjanjian Roma (Roma Agreement), yang mana terdapat tujuh keputusan. Satu di antara ketujuh keputusan itu ialah Pelaksanaan PEPERA 1969 dilaksanakan dengan sisten musyawarah untuk mufakat.
Pengambilan keputusan Belanda ini, pada satu sisi terlihat sangat menguntungkan masyarakat Papua secara politik, tetapi pada sisi lain, kesan-kesan buruk yang ditinggalkan pemerintah Belanda tinggal kental menempel dan membekas di kalangan hati anak-anak Papua. Opini dan sikap orang Belanda, khususnya pemerintah Belanda sendiri, sejak berkuasa di atas tanah Papua, selalu saja bersifat negatif terhadap eksistensi jati diri orang-orang Papua. Sebutan “Papua” selalu saja memiliki konotasi negatif, “jorok, hitam, kotor dan bodoh” menurut  orang-orang pemerintahan Belanda. Opini semacam itulah, membuat beberapa anak Papua, seperti Markus Kaisepo, Frans kaisepo, Barnabas Aninam, Jan Waromi, Lukas Rumkorem, Elly Uyo, Pieter Hamadi, Semuel Kawab, Pieter Wettbosy dan Korinus Krey, setelah mengganti nama Papua menjadi Iria Barat, merubah arah perjuangan mereka menentang pemerintah Belanda.  Sikap antipatinya terhadap Pemerintah Belanda (bukan kepada zending Belanda), membuat mereka memutar haluan politik secara radikal menentang pemerintah Belanda dan pro terhadap Indonesia. Selain mereka, Marthen Indey dan Silas Papare pun mengambil sikap politik yang sama menjadi lawan politik dan berpihak pada Indonesia. Inilah cikal bakal Papua merestui secara romantis masuk pangkuan NKRI.

2.     Sikap Pemerintah Indonesia
Sejak UNTEA mengatur Papua untuk sementara waktu sampai PEPERA, Pemerintah Indonesia terus saja berupaya dengan cara politik praktisnya, mempengaruhi masyarakat Papua untuk berintegrasi dengan Indoneisa. Paham-paham nasionalisme Indonesia mulai ditanamkan di setiap hati orang-orang Papua. Politik praktis Indonesia itu dilakukan dengan berbagai cara, baik yang halus sampai yang kasar. Salah satu cara halus yang dipakai Indonesia ialah melaksanakan Musyawarah Pertama Masyarakat Irian Barat pada tahun 1964 di Holandia. Di dalam musyawarah ini paham nasionalisme Indonesia secara sistimatis ditanamkan di hati setiap tokoh-tokoh penting Papua, seperti tokoh Adat, Gereja, Pemuda dan Perempuan. Selain cara kasar cara halus pun dipakai Indonesia di Papua. Sesungguhnya cara kasar sangat melukai hati orang-orang Papua yang notabene telah mengharapkan Indonesia menjadi bagian dari hidupnya. Pasukan-pasukan ABRI dengan jumlah besar diluncurkan ke Papua bukan lagi menjadi pengayom masyarakat, melainkan mengintimidasi, membunuh, memperkosa secara kejam manusia Papua. Hal ini berjalan hingga pelaksanaan PEPERA tahun 1969, dan pula selanjutynya sampai sekarang.
Pelaksanaan PEPERA 1969 menjadi trauma politik dalam sejarah Papua. Pelaksanaan PEPERA yang dikatakan musyawarah untuk mufakat, diubah menjadi intimidasi. Ketidakadilan, ketidakbenaran dan ketidakjujuran ditanamkan subur di tanah Papua. Hak-hak suara dalam PEPERA tersebut disabutasi oleh penguasa; orang-orang Papua anti Repoblik Indonesia diculik dan dibunuh secara kejam dan keji. Banyak wanita Papua yang menjadi korban kekerasan sexual dari pihak ABRI. Sedangkan orang-orang Papua pro Indonesia diberikan gula-gula politik berupa makanan, minuman keras dan wanita Indonesia, agar tetap mempertahankan Indonesia menguasai tanah Papua.
Akibat dari semuanya itu, sebelum memasuki PEPERA, Organisasi Papua Merdeka (OPM) lahir sejak tahun 1965 dan bangkita menyuarakan nasionalisme Papua di depan pentas politik Indonesia dan internasional sampai sekarang ini. Sangat tepatlah sebagaimana yang dikatakan Mark Rumbiak dalam bukunya “Ketika Idiologi Sebuah Bangsa Tiba Di Persimpangan, dan dikutip Pdt. Socrates Sofyan Yoman, dalam bukunya “Pemusnahan Etnis Melanesia” bahwa: “Dalam kurung waktu 35 tahun “berintegrasi,” rakyat Irian (Papua) berada pada system penjajahan modern pemerintah Indonesia…”  Sistim penjajahan modern yang dilakukan pemerintah Indonesia itu berlaku pada seluruh sisi kehidupan orang Papua. Malah sistem penjajahan itu mematikan ruang gerak daya kreativitas manusia Papua untuk membangun daerahnya sendiri; ia tidak aktif tetapi pasif, ia apatis terhadap semua trik pembangunan yang dikaryakan oleh pemerintah Indonesia. Ini sebuah realita sejarah kehidupan bangsa Papua hingga dewasa ini.

3.     Sikap Zendeling dan Gereja
Sejarah peradaban Papua mencatat bahwa yang mempunyai peranan penting dalam memberdayaankan manusia Papua menjadi “manusia” adalah para zendeling Jerman dan Belanda. Mula-mula dari Jerman oleh dua zendeling tukang, Ottow dan Geissler, kemudian oleh UZV (Utrechtsce Zendings Vereniging) yang dinakodai Pdt. F.J.F. van Hasselt dengan beberapa temannya.
Karena begitu setia dan loyal terhadap martabat hidup manusia Papua, sekitar 1907, para zendeling asal Belanda meminta dukungan guru-guru asal asal Indonesia (dari Maluku, Saghie-Talaud), dan ditambah dengan putra-putra asli Papua, mulai membuka perubahan dan perkembangan di lingkungan jemaat-jemaat dan di dunia pendidikan Papua. Komitmen pemberdayaan manusia Papua membuat para zendeling terus membuka sekolah-sekolah peradaban di setiap tempat ia bertugas. Di pulau Mansinam Pdt. F.J.F. van Hasselt mendirikan sebuah sekolah guru pada tahun 1917 untuk mendidik anak-anak Papua. Selain pendidikan, para zendeling pun memberi perhatian serius terhadap persoalan kesehatan, pertanian, peternakan dan pertukangan bagi kehidupan masyarakat asli Papua.
Sekitar tahun 1924-1942, ketika Pdt. I.S. Kijne dengan para zendeling lainnya tiba di Papua, bidang pendidikan mendapat perhatian serius, di samping bidang-bidang kehidupan lainnya. Pekerjaan ini berjalan hingga 1942 karena terganggu akibat Perang Dunia II (antara Amerika dan Jepang). Tetapi, setelah berakhirnya Perang Dunia II, tokoh yang satu ini kembali pada komitmen imannya untuk lebih berfokus pada pemberdayaan Sumber Daya Manusia Papua, dibanding dengan pemberdayaan politik. Oleh karena Kijne lebih lebih fokus pada pemberdayaan sumber daya manusia, maka tidak heran kalau hampir sebagian besar anak-anak didiknya menjadi pemimpin-pemimpin terkemuka, baik di bidang gereja, pendidikan, pemerintahan, kesehatan, dls, memenuhi persada tanah Papua.
Tanpa dipungkiri bahwa begitu besarnya arus politik pemerintah Belanda dan Indonesia di Papua yang begitu kental menusuk dinding-dinding kehidupan pekerjaannya, Kijne tetap saja setia bergeraak pada bidangnya. Ia lebih peduli akan sebuah keesaan umat Kristen di Papua, Indonesia dan dunia pada umumnya.
a.     Konferensi PI di Batavia (Jakarta), Kumpulan Besar Penatua dan Konferensi Malino
Walau pun benturan politik antara Belanda dan Indonesia begitu memanas perihal status pulau Papua, Pdt. I.S. Kijne tetap berpegang pada pendiriannya tentang sebuah keesaan umat Kristen, baik di Papua, Indonesia dan dunia. Komitmen itu terbukti manakala Kijne yang mewakili UZV mengikuti sebuah Konferensi PI yang diselenggarakan di Jakarta (Batavia) 10-20 Agustus 1946. Semangat keesaan dengan gereja-gereja Kristen di Indonesia menjadi kebulatan tekad sang tokoh ini, sehingga pada akhirnya disampaikan di depan semua peserta Kumpulan Besar Penatua di Dwaar, Biak Utara, 25-31 Oktober 1946. Dalam pertemuan para penatua itu, mereka mengambil komitmen untuk membangun semangat keesaan dengan gereja-gereja Kristen lainnya di Indonesia Timur. Pada tanggal 15-25 Maret 1947, dua guru asal Papua, F.J.S Rumainum dan G.A. Lanta diutus mengikuti Konferensi di Malino (Makasar). Konferensi Malino pada akhirnya mempunyai andil besar dalam pembentukan Dewan Gereja-Gereja di Indonesia 1950. Dengan demikian, orang Kristen Papua pun, sebelum DGI berdiri, telah memberi sumbangsi yang besar bagi berdirinya dewan gereja tersebut. Dalam Konferensi ini orang-orang Kristen Papua menyepakati sebuah keesaan dengan umat Kristen lainnya di Indonesia.
b.     Berdirinya GKI Di Tanah Papua
Jauh sebelum GKI Di Tanah Papua berdiri (1956), orang-orang Kristen Papua telah membangun hubungan keesaan dengan orang-orang Kristen di Indonesia. Hal ini terbukti manakalah gereja-gereja Kristen di Indonesia Timur, misalnya Maluku dan Sanghie-Talaud, mengirimkan begitu banyak gurunya membantu para zendeling Belanda dan putera-putera asli Papua dalam memajukan manusia Papua.
Walau pun berbagai aktor peradaban di Papua dari latar belakang suku yang berbeda-beda, tetapi Kijne selalu mengedepankan semangaat keesaan di antara mereka untuk memajukan manusia Papua. Cita-cita keesaan orang Kristen di tanah Papua dilandasi semangat persekutuan dan persatua, bukan dilandasi semangat nasionalisme suku. Pdt. Kijne mengikis semangat-semangat seperti itu, sehingga yang ada ialah cuma satu, yaitu GKI Di Tanah Papua, sebagai sabuk pengaman bagi setiap suku. Semangat dan cita-cita itulah, pada 26 Oktober 1956, GKI Di Tanah Papua resmi berdiri sendiri. Walau pun GKI Di Tanah Papua belum masuk sebagai anggota DGI, tetapi semangat keesaan diantara gereja-gereja di Indonesia lainnya, lewat DGI memberi ucapan selamat atas berdirinya GKI Di Tanah Papua.
c.     GKI Di Tanah Papua menjadi anggota DGI
Di tengah-tengah kondisi politik yang begitu memanas, Belanda dan Pemerintah Indonesia saling tarik-menarik tentang status Papua, GKI Di Tanah Papua, dari sisi keesaan gereja-gereja di Indonesia, pada tahun 1963, ia mengambil keputusan iman bergabung dengan Gereja-Gereja di Indonesia, manakala lima orang delegasi GKI Di Tanah Papua, mengikuti Sidang DGI ke-V di Jakarta 1964.
Menjelang PEPERA 1969, tahun 1968 GKI Di Tanah Papua mengadakan Sidang Sinode V di Sukarnapura dalam situasi yang sarat politik. Gereja yang notabenbe merasakan dampak dari politik praktis Indonesia, tetapi sedang berada dalam kekuasaan pemerintah Indonesia, mengambil sikap netral terhadap hangatnya politik di Papua. Berbagai aspirasi dan inspirasi pemerintah Indonesia pun diupayakan lewat jalur gereja. Sambutan-sambutan berbagai tokoh DGI bersama dengan tokoh-tokoh, ABRI, Pemerintah Provinsi Papua Barat dan Gereja,  bermuara pada penanaman nasionalisme Indonesia menuju PEPERA.

PAPUA DI  PERSIMPANGAN JALAN
Dari beberapa peristiwa sejarah di atas dapat dimengerti bahwa pada satu sisi pemerintah Belanda ingin melepaskan Papua menjadi sebuah negera yang merdeka, tetapi di sisi lain Zending dan GKI Di Tanah Papua mengambil jalan yang berseberangan, yaitu bergabung dengan semua gereja di Indonesia. Ini sebuah realita dalam perjalanan sejarah orang-orang Papua di atas tanahnya sendiri. Papua berada di persimpangan jalan.
Awalnya sejarah mencatat bahwa pulau Papua dan masyarakatnya merupakan wilayah kekuasaan pemerintah Belanda. Pulau dan penduduk Papua tidak mendapat perhatian serius pemerintah Belanda untuk memberdayakan dan memajukan manusianya. Sumber Daya Alamnya yang  utama dikuras dan diambil demi kesajahteraannya sendiri, sedangkan penduduk Papua tetap hidup dalam lingkaran kemiskinan dan kebodohan. Sistem feodalisme dan kolonialisme membuat orang-orang Papua tidak berkembang, melainkan tersisi di dalam lembaran agenda pemerintahan Hindia-Belanda. Penduduk Papua yang notabene belum maju seperti daerah-daerah jajahan Belanda lainnya, selalu saja dipandang negatif. Sebutan “Papua” (kotor, hitam dan bodoh) terhadap harga diri manusianya menjadi sebutan tren penghinaan yang merendahkan harga diri manusia Papua. Diskriminasi terhadap orang Papua terbangun subur.  Perbedaan antara orang-orang bukan asli Papua (Maluku, Sanghie-Talaud, dls) tercipta kental, karena pemahaman yang telah dibangun sebelumnya oleh pemerintah Belanda di Papua. Sebuah contoh yang saya kutip dari penjelasan Jan H. Ramandei (alm) dalam bukunya “Dari Samudranta ke Iriyan Jaya,” menuturkan: “Pernah terjadi bahwa seorang guru JVVS bernama Haurissa, berasal dari Maluku dipukul oleh Mantri Krey karena menertawakan murid-muridnya yang tidak mau lagi menggunakan istilah Papua.” Ini salah satu contoh kongkrit bagaimana manusia Papua dipandang terhina dari suku-suku lain di Papua.
Tetapi, kita perlu mensyukuri atas kasih Tuhan bahwa untunglah Zending dengan bermodalkan Injil Yesus Kristus, ia setia memberdayakan dan memajukan penduduk pulau ini. Berlandaskan Injil itu, tidak ada paham dan tindakan diskriminatif di antara orang bukan Papua dengan orang asli Papua Pandangan negatif itu dikikis oleh Injil. Hal ini cukup tergambar dalam alam pikir dan tindak para zendeling. Pdt. I.S. Kijne, seorang tokoh pendidikan peradaban orang Papua yang dikenang dalam segala zaman, merupakan tokoh anti dikriminasi. Semangat keesaan dan oikumneis antar semua orang Kristen di Papua dan dari berbagai penjuru dunia, menetang sikap itu dengan membentuk sebuah Gereja yang oikumenis, Gereja yang menciptakan sebuah “kerajaan Allah kecil” di rimba raya Papua. Sedangkan Pemerintah Belanda hanya duduk manis dan melipat tangan sambil menerima hasil-hasil pekerjaan Zending. Ini sebuah ketidak adilan yang terjadi sepanjang Belanda menduduki pulau Papua. Ini merupakan salah satu indikasi sehingga mendorong sebagian rakyat Papua memilih berintegrasi dengan Indonesia.
Nah, setelah tahun 1962-1969, ketika pemerintah Indonesia mulai menanamkan kekuasaannya di negeri Papua, begitu lebih sadisnya orang-orang Papua merasa dirinya dikurung dalam sebuah sistem penjajahan modern yang lebih radikal oleh Indonesia di banding pemerintah Belanda. Selama kurang lebih tujuh tahun intimidasi, diskriminasi lebih besar dilakukan oleh Indonesia. Penangkapa, penculikan dan pembunuhan orang-orang Papua dilakukan pemerintah Indonesia secara sistematis dan terorganisir. Mobilinasis penduduk dari Jawa (program transmigrasi) membonceng kelompok ABRI menduduki Papua sebebas-bebasnya. Akibatnya membuat penduduk Papua tersisi dalam segi ekonomi kerakyatan dan rasa ketidaknyamanan karena dianggap semua orang Papua adalah “separatis.”
Dan pada akhirnya, PEPERA ’69 terlaksana di bumi Papua. Oleh karena berada di alam politik pemerintah Indonesia, orang-orang Papua tidak diaktifkan dalam pesta demokrasi tersebut. Kebebasan bersuara dan hak memilih dari orang Papua untuk berdiri sendiri atau berintegrasi dengan NKRI, dibungkam seribu bahasa. “Dari jumlah penduduk (Papua) berkisar 800.000 orang pada waktu itu hanya 1.020 orang yang diberikan izin memilih, sedangkan sisanya sebanyak 699.980 orang dimusnahkan hak pilihnya. Unsur demokrasi dan keadilan diabaikan.” Suatu lembaran ketidakadilan yang terjadi semasa itu adalah sejarah pahit bagi generasi sekarang. Pelaksanaan PEPERA yan dilaksanakn di Papua, seperti di Merauke  pada tanggal 14 Juli 1969. Tanggal 16 Juli 1969 digelar di Jayawijaya, di Nabire tanggal 19 Juli 1969.  Selanjutnya, di Fak-fak tanggal 23 Juli 1969.  Di Sorong, tanggal 26 Juli 1969.  Di Manokwari, tanggal 29 Juli 1969. Di Biak tanggal 31 Juli 1969 serta di beberapa kota lainnya.  Dan, PEPERA diakhiri  di Jayapura  tanggal 2 Agustus  1969, yang semuanya berjalan dalam sebuah demokrasi pembohongan. Demikian Herman Wayoy, seorang aktivis pro-Indonesia, menuturkan dalam sebuah surat yang dikutip Pdt. Socrates Sofyan Yoman dalam “Pemusnahan Etnis Melanesia.” Alam demokrasi Indonesia pada akhirnya tidak menjadi rumah yang aman bagi orang-orang Papua. Karena itu, semenjak dalam menuju pada pesat PEPERA itu, tahun 1965 Organisasi Papua Merdeka (OPM) bangkit dan menamakan dirinya sebagai organisasi masyarakat Papua yang visi dan misinya ialah membawa negeri Papua keluar dari bingaki NKRI dan menjadi sebuah negara yang berdaulat.
Sampai sekarang, tanpa perlu menceritakan sejarah pahit yang dialami orang-orang Papua di masa lalu, generasi Papua di masa sekarang ini telah memanen hasil buruk yang telah terjadi sepanjang sejarah itu.  Yang ada ialah penyakit sakit hati, dendam dan iri terhadap sistem pemerintahan neu-kolonialisme dan feodalisme Indonesia. Akibat dari semuanya itu, sampai kini pun masyarakat Papua  dengan OPM-nya masih dan masih tetap berjuang melepaskan diri dan berdaulat bebas dari bingkai NKRI. Inilah yang menjadi dasar mengapa orang Papua mati-matian berjuang untuk merdeka sendiri.
Nah, sekarang, apa yang dilihat, dialami dan dirasakan saat berada dengan Indonesia semenjak  masa UNTEA, PEPERA sampai saat sekarang ini? Apa yang terjadi dan dirasakan oleh segenap orang Papua? Mungkin saja saya tidak keliru dengan penilain dan tanggapan Anda. Tetapi, yang pasti Anda semua akan berkomentar sinis dan negatif terhadap kepemimpinan Indonesia atas Papua. Iya, kan? Paling tidak, ada yang pasti berkomentar Indonesia adalah penjajah, Indonesia merupakan bangsa kolonialis, rasisme, pembunuh, perampas hak-hak kemanusiaan dan kealaman Papua.
Tetapi saya, maaf, melihat semua sejarah masa lalu dan masa kini, selalu bertanya dalam hati: “Apakah semua ini terjadi karena rencana Tuhan? Artinya, apakah Tuhan tidak berkenan dengan perjuangan pemerintah Belanda yang pada waktu lalu berniat keras mendidirikan Papua menjadi negara yang merdeka dan berdaulat? Ataukah, Tuhan hanya saja berkenan merestui Papua menjadi bagian dalam Negara Kesatua Repoblik Indonesia? Tetapi, kalau demikian, mengapa orang Papua tetap saja menjadi budak intimidasi, diskriminasi dan genosidaisasi di atas negeri leluhurnya sendiri? Pertanyaan seperti ini, menurut saya, tidak mungkin kita sanggup pecahkan dengan akal budi kita, manusia Papua; ini harus dipecahkan dalam koridor iman Kristen orang Papua kepada Yesus Kristus, Tuhan kita. Mengapa? Karena kalau tanah Papua dibebaskan oleh Injil 1855 yang silam, maka orang Papua harus kembali kepada Injil Yesus Kristus itu, barulah “kebebasan” akan kembali dirangkul oleh orang Papua sendiri. Dr. F.C. Kamma pernah berkata: “Jika orang menyebut Irian Jaya (Papua), orang menyebut Injil Yesus Kristus.” Papua identik dengan Injil dan Injil identik dengan Papua. Kebebasan orang Papua hanya dapat terjadi berdasarkan pada Injil Kristus, sebab hanya Injil pulalah yang akan membuat orang Papua menjadi pemimpin di atas negerinya sendiri. Siapakah yang akan membebaskan manusia dan alam Papua ini dari sistem new-fiodalisme dan new-kolonialisme Indonesia? Hanya orang Papua sendiri, bukan satu negara adikuasa di muka bumi ini, melainkan orang Papua yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita, dengan sebuah komitmen kerja yang lebih aktif dan terarah demi masa depaan yang kita nantikan itu, yaitu sebuah negeri “Kota Mas.”

Semoga bermanfaat!!!!
Pdt. Lucky Matui


1 komentar: