SIKAP
PEMERINTAH DAN GEREJA
TERHADAP
ORANG PAPUA
(Sekilas sejarah harga diri orang Papua di persimpangan
jalan)
Peradaban orang Papua
dimulai dari pekerjaan para zendeling dari Eropa. Mulanya oleh dua orang
zendeling tukang berkebangsaan Jerman, Ottow dan Geissler, dan kemudian
dilanjutkan oleh sejumlah zendeling asal Belanda. Pada saat itu, orang-orang
Papua mulai mengenal apa yang dinamakan peradaban modern.
Pada satu sisi misi
pemberdayaan manusia religius Papua berjalan mengikuti waktu, di sisi lain misi
politik penguasa negeri Belanda pun berpacu di rimba raya Papua yang masih
perawan. Peran kedua misi ini tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang
lainnya, karena mereka adalah saudara
kembar dari kandungan ibu yang sama, yaitu negeri Belanda (Nederland).
Semuanya berjalan baik-baik saja, berjalan mengikuti waktu sejarah Papua.
Tetapi, menjelang akhir Perang
Dunia II dan kekuasaan politik Belanda di Indonesia 1949, misi politik Belanda
dan Indonesia kembali lagi membara akibat tarik-menari persoalan pulau Papua.
Berbagai perdebatan politik internasional antarkedua bangsa ini akhirnya
berhenti, saat UNTEA mengambil alih kekuasaan atas Papua dari tangan Belanda
1962. Setahun kemudian, 1963, UNTEA secara resmi menyerahkan hak sepenuhnya
pulau Papua ke tangan Indonesia sampai pelaksanaan PEPERA 1969. Di tahun inilah
Papua secara resmi diakui masyarakat internasional sebagai bagian integral dari
NKRI yang tidak dapat dipisahkan sampai sekarang ini.
Belajar dari perjalan
sejarah bangsa Papua, baik dari masa pemerintahan Belanda dan selanjutnya
Indonesia, berbagai panorama penderitaan mengiringi derap langkah hidup
orang-orang Papua. Berbagai upaya menjadikan ras Melanesia ini sebagai suatu
bangsa yang mandiri dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia, tidak
mencapai titik terang sampai saat ini. Maka muncullah sikap apatis, pesimistis
dan opini mengalah terhadap mimpi akan kebebasan itu.
Pemaparan tulisan saya
kali ini, bukanya merangsang emosi dan rasa dendam yang mendalam terhadap
Indonesia (sebagai bangsa pemiliki Papua sekarang ini), dan juga bukan untuk
saling mempersalahkan pelaku sejarah masa lalu. Tetapi saya, pada prinsipnya
rindu sekali mengajak Anda sekalian untuk melihat keberadaan bangsa Papua di
dalam bingkai NKRI ini; apakah merupakan bagian dalam rancangan Tuhan, ataukah
sesuatu yang kebetulan saja terjadi atas negeri kita? Ini yang hendak saya
sampaikan pada Anda sekalian.
SIKAP PEMERINTAH DAN GEREJA
TERHADAP ORANG PAPUA
Dalam bagian ini kita
akan melihat bagaimana peran dari Pemerintah Belanda dan Zending/Gereja,
terhadap keberadaan masyarakat Papua di atas tanahnya sendiri, dan pula dalam
kaitannya dengan politik yang terjadi di masa lalu. Tahukah Anda tentang peran
orang-orang Papua dalam pentas politik, baik lokal, nasional dan internasional
di Papua? Dan, tahukah Anda sejauh mana peran orang-orang Papua dalam
status daerahnya? Ini pertanyaan yang mengukur peran orang-orang Papua dalam
menentukan nasibnya sendiri di waktu silam. Mari kita lihat beberapa penjelasan
saya di bawah ini.
Jauh sebelumnya, ketika
Belanda masih menjajah Indonesia, tanah Papua (Nieuw Guinea) merupakan satu
wilayah jajahan Belanda yang kurang diperhatikan. Pulau Papua hanya sekedar
benteng pertahanan politik internasional, karena ia berbatasan dengan Papua
Timur, wilayah jajahan Inggris yang dikuasai oleh Australia. Selain letak
geografis yang begitu luas alam dan iklim yang tidak bersahabat, Papua, dari
sudut pandang bisnis internasional, ia tidak mendapat perhatian serius dari
pemerintah Hindia Belanda di Batavia.
Dalam dunia pendidikan,
para zendeling berupaya sekeras mungkin memberdayakan anak-anak Papua untuk
lebih cepat maju dalam segala pengetahuan di segala bidang, dibanding dengan
peranan pemerintah Hindia Belanda di Papua. Sekolah-sekolah hasil
prakarsa lembaga Zending di Belanda, tidak diperhatian dan difasilitasi secara
baik oleh pemerintah Belanda. Anak-anak asli Papua akan masuk pada lembaga
pendidikan pemerintah, bila mereka diperkenankan memiliki ideks prestasi yang
lebih tinggi. Sehingga tidak dapat disangkal bila jumlah anak-anak Papua
terlihat begitu kurang dihasilkan oleh lembaga pendidikan pemerintah Belanda.
Kesempatan berpendidikan bagi anak-anak Papua oleh pemerintah Belanda begitu
sempit. Sehingga pemberdayaan sumber daya manusia Papua berjalan begitu lambat.
Hal semacam ini bila dibandingkan dengan peranan Zending di Papua, sungguh jauh
berbeda. Para zendeling tidak membangun sebuah diskriminasi pendidikan dan ras,
melainkan lebih sungguh-sungguh memprioritaskan kualitas rohani dan sumber daya
manusia Papua. Jangan heran bila dikemudian hari, saat Belanda hendak
membangun status politiknya di Papau, banyak hasil pekerjaan Zending yang
dipakai pemerintah untuk maksudnya.
Sesudah Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Pemerintah
Kerajaan Belanda kemudian memutuskan dalam UU-nya bahwa Papua merupakan wilayah
kekuasaannya (kemudian di tahun 1950, Belanda mengeluarkan lagi UU No. 1 untuk
mempertegas UU di tahun 1945). Nanti kemudian tahun 1949, barulah Belanda
secara resmi menyerahkan sepenuhnya kedaulatan kemerdekaan Indonesia. Namun,
status Papua belum juga dituntaskan secara baik karena tarik-menari pulau ini
belum mencapai kesepakatan bersama. Belanda mengklaim Papua tidak memiliki
hubungan nasionalisme dengan Indonesia, dan lagi pula sumber daya manusia di
pulau tersebut masih belum mapan. Sehingga Belanda pingin membangunnya untuk
maju lebih baik. Selain itu, ada maksud Pemerintah Belanda menjadikan pulau
Papua sebagai tempat tinggal dari sejumlah penduduk Belanda yang ada di
Indonesia, khususnya mereka yang peranakan Belanda-Indonesia. Alasan ini tidak
diterima oleh Indonesia, sebab ia berpegang teguh pada pencetusan proklamasinya
bahwa Papua juga merupakan bagian jajahan Belanda yang merupakan wilayah
kesatuan bangsa Indonesia (dari Sabang sampai Merauke).
Bertolak dari azas maksud Belanda di atas, maka
ia mulai mempersiapkan bangsa Papua untuk merdeka sendiri, dengan memulai misi
pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM) Papua, dimana ia membuka beberapa
sekolah penting seperti: sekolah Polisi Umum di Ifar Gunung (1946), Sekolah
Bestir (Pamong Praja) untuk pemuda-pemuda Papua (1946-1948). Selain itu,
Belanda juga mendirikan Pasukan Pembantu Batalion di kota NICA (Netherlands
Indies Civil Adminstration) di dataran Ohoro (kini disebut Kampung Harapan)
Sentani.
Pada tahun 1961
orang-orang Papua yang dipandang pro-Belanda mulai dipilih masuk Nieuw Guinea
Raad (Dewan New Guinea/Dewan Papua) menjadi anggota parlemen pertama orang
Papua dan untuk bertanggungjawab merancang dan melaksanakan kemerdekaan penuh
bagi tanah Papua. Lagu kebangsaan, bendera nasional, nama negara dan mata
uang negara dibuat di tahun ini. Pada akhirnya pada tanggal 1 Desember 1961,
kemerdekaan Papua Barat dicetuskan di Holandia (sekarang Jayapura). Karena
sikap politik Belanda yang dirasa tidak konsekuen dengan keputusan
internasional kedua negara, maka pada tahun yang sama (1961), Presiden NKRI,
Soekarno, untuk pertama kalinya dengan tegas menyikapi pengibaran bendera
Bintang Kejora tersebut. Soekarno yang dijuluki sebagai tokoh Revolusioner
Indonesia mencetuskan Trikora, dengan menurunkan 2000 ABRI merebut Papua (Irian
Barat). Karena kondis politik seperti itu, lahirlah Perjanjian New York (15
Agustus 1962) yang disponsori oleh Amerika Serikat atas pengawasan PBB, untuk
menyelesaikan sengketa Belanda-Indonesia tentang Papua Barat. Sebulan kemudian
(30 September 1962) dicetuskan lagi Perjanjian Roma (Roma Agreement), yang mana
terdapat tujuh keputusan. Satu di antara ketujuh keputusan itu ialah
Pelaksanaan PEPERA 1969 dilaksanakan dengan sisten musyawarah untuk mufakat.
Pengambilan keputusan
Belanda ini, pada satu sisi terlihat sangat menguntungkan masyarakat Papua
secara politik, tetapi pada sisi lain, kesan-kesan buruk yang ditinggalkan
pemerintah Belanda tinggal kental menempel dan membekas di kalangan hati
anak-anak Papua. Opini dan sikap orang Belanda, khususnya pemerintah Belanda
sendiri, sejak berkuasa di atas tanah Papua, selalu saja bersifat negatif
terhadap eksistensi jati diri orang-orang Papua. Sebutan “Papua” selalu saja
memiliki konotasi negatif, “jorok, hitam, kotor dan bodoh” menurut
orang-orang pemerintahan Belanda. Opini semacam itulah, membuat beberapa
anak Papua, seperti Markus Kaisepo, Frans kaisepo, Barnabas Aninam, Jan Waromi,
Lukas Rumkorem, Elly Uyo, Pieter Hamadi, Semuel Kawab, Pieter Wettbosy dan
Korinus Krey, setelah mengganti nama Papua menjadi Iria Barat, merubah arah
perjuangan mereka menentang pemerintah Belanda. Sikap
antipatinya terhadap Pemerintah Belanda (bukan kepada zending Belanda), membuat
mereka memutar haluan politik secara radikal menentang pemerintah Belanda dan
pro terhadap Indonesia. Selain mereka, Marthen Indey dan Silas Papare pun
mengambil sikap politik yang sama menjadi lawan politik dan berpihak pada
Indonesia. Inilah cikal bakal Papua merestui secara romantis masuk pangkuan
NKRI.
2. Sikap
Pemerintah Indonesia
Sejak UNTEA mengatur
Papua untuk sementara waktu sampai PEPERA, Pemerintah Indonesia terus saja
berupaya dengan cara politik praktisnya, mempengaruhi masyarakat Papua untuk
berintegrasi dengan Indoneisa. Paham-paham nasionalisme Indonesia mulai
ditanamkan di setiap hati orang-orang Papua. Politik praktis Indonesia itu
dilakukan dengan berbagai cara, baik yang halus sampai yang kasar. Salah satu
cara halus yang dipakai Indonesia ialah melaksanakan Musyawarah Pertama
Masyarakat Irian Barat pada tahun 1964 di Holandia. Di dalam musyawarah ini
paham nasionalisme Indonesia secara sistimatis ditanamkan di hati setiap
tokoh-tokoh penting Papua, seperti tokoh Adat, Gereja, Pemuda dan Perempuan.
Selain cara kasar cara halus pun dipakai Indonesia di Papua. Sesungguhnya cara
kasar sangat melukai hati orang-orang Papua yang notabene telah mengharapkan
Indonesia menjadi bagian dari hidupnya. Pasukan-pasukan ABRI dengan jumlah
besar diluncurkan ke Papua bukan lagi menjadi pengayom masyarakat, melainkan
mengintimidasi, membunuh, memperkosa secara kejam manusia Papua. Hal ini berjalan
hingga pelaksanaan PEPERA tahun 1969, dan pula selanjutynya sampai sekarang.
Pelaksanaan PEPERA 1969
menjadi trauma politik dalam sejarah Papua. Pelaksanaan PEPERA yang dikatakan
musyawarah untuk mufakat, diubah menjadi intimidasi. Ketidakadilan, ketidakbenaran
dan ketidakjujuran ditanamkan subur di tanah Papua. Hak-hak suara dalam PEPERA
tersebut disabutasi oleh penguasa; orang-orang Papua anti Repoblik Indonesia
diculik dan dibunuh secara kejam dan keji. Banyak wanita Papua yang menjadi
korban kekerasan sexual dari pihak ABRI. Sedangkan orang-orang Papua pro
Indonesia diberikan gula-gula politik
berupa makanan, minuman keras dan wanita Indonesia, agar tetap mempertahankan
Indonesia menguasai tanah Papua.
Akibat dari semuanya
itu, sebelum memasuki PEPERA, Organisasi Papua Merdeka (OPM) lahir sejak tahun
1965 dan bangkita menyuarakan nasionalisme Papua di depan pentas politik
Indonesia dan internasional sampai sekarang ini. Sangat tepatlah sebagaimana
yang dikatakan Mark Rumbiak dalam bukunya “Ketika Idiologi Sebuah Bangsa Tiba
Di Persimpangan, dan dikutip Pdt. Socrates Sofyan Yoman, dalam bukunya “Pemusnahan
Etnis Melanesia” bahwa: “Dalam kurung waktu 35 tahun “berintegrasi,” rakyat
Irian (Papua) berada pada system penjajahan modern pemerintah Indonesia…”
Sistim penjajahan modern yang dilakukan pemerintah Indonesia itu berlaku pada
seluruh sisi kehidupan orang Papua. Malah sistem penjajahan itu mematikan ruang
gerak daya kreativitas manusia Papua untuk membangun daerahnya sendiri; ia
tidak aktif tetapi pasif, ia apatis terhadap semua trik pembangunan yang
dikaryakan oleh pemerintah Indonesia. Ini sebuah realita sejarah kehidupan
bangsa Papua hingga dewasa ini.
3. Sikap
Zendeling dan Gereja
Sejarah peradaban Papua
mencatat bahwa yang mempunyai peranan penting dalam memberdayaankan manusia
Papua menjadi “manusia” adalah para zendeling Jerman dan Belanda. Mula-mula
dari Jerman oleh dua zendeling tukang, Ottow dan Geissler, kemudian oleh UZV
(Utrechtsce Zendings Vereniging) yang dinakodai Pdt. F.J.F. van Hasselt dengan
beberapa temannya.
Karena begitu setia dan
loyal terhadap martabat hidup manusia Papua, sekitar 1907, para zendeling asal
Belanda meminta dukungan guru-guru asal asal Indonesia (dari Maluku,
Saghie-Talaud), dan ditambah dengan putra-putra asli Papua, mulai membuka
perubahan dan perkembangan di lingkungan jemaat-jemaat dan di dunia pendidikan
Papua. Komitmen pemberdayaan manusia Papua membuat para zendeling terus membuka
sekolah-sekolah peradaban di setiap tempat ia bertugas. Di pulau Mansinam Pdt.
F.J.F. van Hasselt mendirikan sebuah sekolah guru pada tahun 1917 untuk
mendidik anak-anak Papua. Selain pendidikan, para zendeling pun memberi
perhatian serius terhadap persoalan kesehatan, pertanian, peternakan dan pertukangan
bagi kehidupan masyarakat asli Papua.
Sekitar tahun 1924-1942,
ketika Pdt. I.S. Kijne dengan para zendeling lainnya tiba di Papua, bidang
pendidikan mendapat perhatian serius, di samping bidang-bidang kehidupan
lainnya. Pekerjaan ini berjalan hingga 1942 karena terganggu akibat Perang
Dunia II (antara Amerika dan Jepang). Tetapi, setelah berakhirnya Perang Dunia
II, tokoh yang satu ini kembali pada komitmen imannya untuk lebih berfokus pada
pemberdayaan Sumber Daya Manusia Papua, dibanding dengan pemberdayaan politik.
Oleh karena Kijne lebih lebih fokus pada pemberdayaan sumber daya manusia, maka
tidak heran kalau hampir sebagian besar anak-anak didiknya menjadi
pemimpin-pemimpin terkemuka, baik di bidang gereja, pendidikan, pemerintahan,
kesehatan, dls, memenuhi persada tanah Papua.
Tanpa dipungkiri bahwa
begitu besarnya arus politik pemerintah Belanda dan Indonesia di Papua yang
begitu kental menusuk dinding-dinding kehidupan pekerjaannya, Kijne tetap saja
setia bergeraak pada bidangnya. Ia lebih peduli akan sebuah keesaan umat
Kristen di Papua, Indonesia dan dunia pada umumnya.
a. Konferensi PI di Batavia (Jakarta), Kumpulan Besar Penatua dan Konferensi Malino
Walau pun benturan
politik antara Belanda dan Indonesia begitu memanas perihal status pulau Papua,
Pdt. I.S. Kijne tetap berpegang pada pendiriannya tentang sebuah keesaan umat
Kristen, baik di Papua, Indonesia dan dunia. Komitmen itu terbukti manakala
Kijne yang mewakili UZV mengikuti sebuah Konferensi PI yang diselenggarakan di
Jakarta (Batavia) 10-20 Agustus 1946. Semangat keesaan dengan gereja-gereja
Kristen di Indonesia menjadi kebulatan tekad sang tokoh ini, sehingga pada
akhirnya disampaikan di depan semua peserta Kumpulan Besar Penatua di Dwaar,
Biak Utara, 25-31 Oktober 1946. Dalam pertemuan para penatua itu, mereka
mengambil komitmen untuk membangun semangat keesaan dengan gereja-gereja
Kristen lainnya di Indonesia Timur. Pada tanggal 15-25 Maret 1947, dua guru
asal Papua, F.J.S Rumainum dan G.A. Lanta diutus mengikuti Konferensi di Malino
(Makasar). Konferensi Malino pada akhirnya mempunyai andil besar dalam
pembentukan Dewan Gereja-Gereja di Indonesia 1950. Dengan demikian, orang
Kristen Papua pun, sebelum DGI berdiri, telah memberi sumbangsi yang besar bagi
berdirinya dewan gereja tersebut. Dalam Konferensi ini orang-orang Kristen
Papua menyepakati sebuah keesaan dengan umat Kristen lainnya di Indonesia.
b. Berdirinya GKI Di Tanah Papua
Jauh sebelum GKI Di
Tanah Papua berdiri (1956), orang-orang Kristen Papua telah membangun hubungan
keesaan dengan orang-orang Kristen di Indonesia. Hal ini terbukti manakalah
gereja-gereja Kristen di Indonesia Timur, misalnya Maluku dan Sanghie-Talaud,
mengirimkan begitu banyak gurunya membantu para zendeling Belanda dan putera-putera
asli Papua dalam memajukan manusia Papua.
Walau pun berbagai aktor
peradaban di Papua dari latar belakang suku yang berbeda-beda, tetapi Kijne
selalu mengedepankan semangaat keesaan di antara mereka untuk memajukan manusia
Papua. Cita-cita keesaan orang Kristen di tanah Papua dilandasi semangat
persekutuan dan persatua, bukan dilandasi semangat nasionalisme suku. Pdt.
Kijne mengikis semangat-semangat seperti itu, sehingga yang ada ialah cuma
satu, yaitu GKI Di Tanah Papua, sebagai sabuk
pengaman bagi setiap suku. Semangat dan cita-cita itulah, pada 26 Oktober
1956, GKI Di Tanah Papua resmi berdiri sendiri. Walau pun GKI Di Tanah Papua
belum masuk sebagai anggota DGI, tetapi semangat keesaan diantara gereja-gereja
di Indonesia lainnya, lewat DGI memberi ucapan selamat atas berdirinya GKI Di
Tanah Papua.
c. GKI Di Tanah Papua menjadi
anggota DGI
Di tengah-tengah kondisi
politik yang begitu memanas, Belanda dan Pemerintah Indonesia saling
tarik-menarik tentang status Papua, GKI Di Tanah Papua, dari sisi keesaan
gereja-gereja di Indonesia, pada tahun 1963, ia mengambil keputusan iman
bergabung dengan Gereja-Gereja di Indonesia, manakala lima orang delegasi GKI
Di Tanah Papua, mengikuti Sidang DGI ke-V di Jakarta 1964.
Menjelang PEPERA 1969,
tahun 1968 GKI Di Tanah Papua mengadakan Sidang Sinode V di Sukarnapura dalam
situasi yang sarat politik. Gereja yang notabenbe merasakan dampak dari politik
praktis Indonesia, tetapi sedang berada dalam kekuasaan pemerintah Indonesia,
mengambil sikap netral terhadap hangatnya politik di Papua. Berbagai aspirasi
dan inspirasi pemerintah Indonesia pun diupayakan lewat jalur gereja.
Sambutan-sambutan berbagai tokoh DGI bersama dengan tokoh-tokoh, ABRI,
Pemerintah Provinsi Papua Barat dan Gereja, bermuara pada penanaman
nasionalisme Indonesia menuju PEPERA.
PAPUA DI PERSIMPANGAN
JALAN
Dari beberapa peristiwa
sejarah di atas dapat dimengerti bahwa pada satu sisi pemerintah Belanda ingin
melepaskan Papua menjadi sebuah negera yang merdeka, tetapi di sisi lain
Zending dan GKI Di Tanah Papua mengambil jalan yang berseberangan, yaitu
bergabung dengan semua gereja di Indonesia. Ini sebuah realita dalam perjalanan
sejarah orang-orang Papua di atas tanahnya sendiri. Papua berada di
persimpangan jalan.
Awalnya sejarah mencatat
bahwa pulau Papua dan masyarakatnya merupakan wilayah kekuasaan pemerintah
Belanda. Pulau dan penduduk Papua tidak mendapat perhatian serius pemerintah
Belanda untuk memberdayakan dan memajukan manusianya. Sumber Daya Alamnya
yang utama dikuras dan diambil demi kesajahteraannya sendiri, sedangkan
penduduk Papua tetap hidup dalam lingkaran kemiskinan dan kebodohan. Sistem
feodalisme dan kolonialisme membuat orang-orang Papua tidak berkembang, melainkan
tersisi di dalam lembaran agenda pemerintahan Hindia-Belanda. Penduduk Papua
yang notabene belum maju seperti daerah-daerah jajahan Belanda lainnya, selalu
saja dipandang negatif. Sebutan “Papua” (kotor, hitam dan bodoh) terhadap harga
diri manusianya menjadi sebutan tren penghinaan yang merendahkan harga diri
manusia Papua. Diskriminasi terhadap orang Papua terbangun subur.
Perbedaan antara orang-orang bukan asli Papua (Maluku, Sanghie-Talaud, dls)
tercipta kental, karena pemahaman yang telah dibangun sebelumnya oleh
pemerintah Belanda di Papua. Sebuah contoh yang saya kutip dari penjelasan Jan
H. Ramandei (alm) dalam bukunya “Dari Samudranta ke Iriyan Jaya,” menuturkan:
“Pernah terjadi bahwa seorang guru JVVS bernama Haurissa, berasal dari Maluku
dipukul oleh Mantri Krey karena menertawakan murid-muridnya yang tidak mau lagi
menggunakan istilah Papua.” Ini salah satu contoh kongkrit bagaimana manusia
Papua dipandang terhina dari suku-suku lain di Papua.
Tetapi, kita perlu
mensyukuri atas kasih Tuhan bahwa untunglah Zending dengan bermodalkan Injil
Yesus Kristus, ia setia memberdayakan dan memajukan penduduk pulau ini.
Berlandaskan Injil itu, tidak ada paham dan tindakan diskriminatif di antara
orang bukan Papua dengan orang asli Papua Pandangan negatif itu dikikis oleh
Injil. Hal ini cukup tergambar dalam alam pikir dan tindak para zendeling. Pdt.
I.S. Kijne, seorang tokoh pendidikan peradaban orang Papua yang dikenang dalam
segala zaman, merupakan tokoh anti dikriminasi. Semangat keesaan dan oikumneis
antar semua orang Kristen di Papua dan dari berbagai penjuru dunia, menetang
sikap itu dengan membentuk sebuah Gereja yang oikumenis, Gereja yang
menciptakan sebuah “kerajaan Allah kecil” di rimba raya Papua. Sedangkan
Pemerintah Belanda hanya duduk manis dan melipat tangan sambil menerima hasil-hasil
pekerjaan Zending. Ini sebuah ketidak adilan yang terjadi sepanjang Belanda
menduduki pulau Papua. Ini merupakan salah satu indikasi sehingga mendorong
sebagian rakyat Papua memilih berintegrasi dengan Indonesia.
Nah, setelah tahun
1962-1969, ketika pemerintah Indonesia mulai menanamkan kekuasaannya di negeri
Papua, begitu lebih sadisnya orang-orang Papua merasa dirinya dikurung dalam
sebuah sistem penjajahan modern yang lebih radikal oleh Indonesia di banding
pemerintah Belanda. Selama kurang lebih tujuh tahun intimidasi, diskriminasi
lebih besar dilakukan oleh Indonesia. Penangkapa, penculikan dan pembunuhan
orang-orang Papua dilakukan pemerintah Indonesia secara sistematis dan
terorganisir. Mobilinasis penduduk dari Jawa (program transmigrasi) membonceng
kelompok ABRI menduduki Papua sebebas-bebasnya. Akibatnya membuat penduduk
Papua tersisi dalam segi ekonomi kerakyatan dan rasa ketidaknyamanan karena
dianggap semua orang Papua adalah “separatis.”
Dan pada akhirnya,
PEPERA ’69 terlaksana di bumi Papua. Oleh karena berada di alam politik
pemerintah Indonesia, orang-orang Papua tidak diaktifkan dalam pesta demokrasi
tersebut. Kebebasan bersuara dan hak memilih dari orang Papua untuk berdiri
sendiri atau berintegrasi dengan NKRI, dibungkam seribu bahasa. “Dari jumlah
penduduk (Papua) berkisar 800.000 orang pada waktu itu hanya 1.020 orang yang
diberikan izin memilih, sedangkan sisanya sebanyak 699.980 orang dimusnahkan
hak pilihnya. Unsur demokrasi dan keadilan diabaikan.” Suatu lembaran
ketidakadilan yang terjadi semasa itu adalah sejarah pahit bagi generasi
sekarang. Pelaksanaan PEPERA yan dilaksanakn di Papua, seperti di Merauke
pada tanggal 14 Juli 1969. Tanggal 16 Juli 1969 digelar di Jayawijaya, di
Nabire tanggal 19 Juli 1969. Selanjutnya, di Fak-fak tanggal 23 Juli
1969. Di Sorong, tanggal 26 Juli 1969. Di Manokwari, tanggal 29
Juli 1969. Di Biak tanggal 31 Juli 1969 serta di beberapa kota lainnya.
Dan, PEPERA diakhiri di Jayapura tanggal 2 Agustus 1969, yang
semuanya berjalan dalam sebuah demokrasi pembohongan. Demikian Herman Wayoy,
seorang aktivis pro-Indonesia, menuturkan dalam sebuah surat yang dikutip Pdt.
Socrates Sofyan Yoman dalam “Pemusnahan Etnis Melanesia.” Alam demokrasi
Indonesia pada akhirnya tidak menjadi rumah yang aman bagi orang-orang Papua.
Karena itu, semenjak dalam menuju pada pesat PEPERA itu, tahun 1965 Organisasi
Papua Merdeka (OPM) bangkit dan menamakan dirinya sebagai organisasi masyarakat
Papua yang visi dan misinya ialah membawa negeri Papua keluar dari bingaki NKRI
dan menjadi sebuah negara yang berdaulat.
Sampai sekarang, tanpa
perlu menceritakan sejarah pahit yang dialami orang-orang Papua di masa lalu,
generasi Papua di masa sekarang ini telah memanen hasil buruk yang telah
terjadi sepanjang sejarah itu. Yang ada ialah penyakit sakit hati, dendam dan iri terhadap
sistem pemerintahan neu-kolonialisme dan feodalisme Indonesia. Akibat dari
semuanya itu, sampai kini pun masyarakat Papua dengan OPM-nya masih dan
masih tetap berjuang melepaskan diri dan berdaulat bebas dari bingkai NKRI.
Inilah yang menjadi dasar mengapa orang Papua mati-matian berjuang untuk
merdeka sendiri.
Nah, sekarang, apa yang
dilihat, dialami dan dirasakan saat berada dengan Indonesia semenjak masa
UNTEA, PEPERA sampai saat sekarang ini? Apa yang terjadi dan dirasakan oleh
segenap orang Papua? Mungkin saja saya tidak keliru dengan penilain dan
tanggapan Anda. Tetapi, yang pasti Anda semua akan berkomentar sinis dan
negatif terhadap kepemimpinan Indonesia atas Papua. Iya, kan? Paling tidak, ada
yang pasti berkomentar Indonesia adalah penjajah, Indonesia merupakan bangsa
kolonialis, rasisme, pembunuh, perampas hak-hak kemanusiaan dan kealaman Papua.
Tetapi saya, maaf,
melihat semua sejarah masa lalu dan masa kini, selalu bertanya dalam hati:
“Apakah semua ini terjadi karena rencana Tuhan? Artinya, apakah Tuhan tidak
berkenan dengan perjuangan pemerintah Belanda yang pada waktu lalu berniat
keras mendidirikan Papua menjadi negara yang merdeka dan berdaulat? Ataukah,
Tuhan hanya saja berkenan merestui Papua menjadi bagian dalam Negara Kesatua
Repoblik Indonesia? Tetapi, kalau demikian, mengapa orang Papua tetap saja
menjadi budak intimidasi,
diskriminasi dan genosidaisasi di atas negeri leluhurnya sendiri? Pertanyaan
seperti ini, menurut saya, tidak mungkin kita sanggup pecahkan dengan akal budi
kita, manusia Papua; ini harus dipecahkan dalam koridor iman Kristen orang
Papua kepada Yesus Kristus, Tuhan kita. Mengapa? Karena kalau tanah Papua
dibebaskan oleh Injil 1855 yang silam, maka orang Papua harus kembali kepada Injil
Yesus Kristus itu, barulah “kebebasan” akan kembali dirangkul oleh orang Papua
sendiri. Dr. F.C. Kamma pernah berkata: “Jika orang menyebut Irian Jaya
(Papua), orang menyebut Injil Yesus Kristus.” Papua identik dengan Injil dan
Injil identik dengan Papua. Kebebasan orang Papua hanya dapat terjadi
berdasarkan pada Injil Kristus, sebab hanya Injil pulalah yang akan membuat
orang Papua menjadi pemimpin di atas negerinya sendiri. Siapakah yang akan
membebaskan manusia dan alam Papua ini dari sistem new-fiodalisme dan new-kolonialisme
Indonesia? Hanya orang Papua sendiri, bukan satu negara adikuasa di muka bumi
ini, melainkan orang Papua yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita,
dengan sebuah komitmen kerja yang lebih aktif dan terarah demi masa depaan yang
kita nantikan itu, yaitu sebuah negeri “Kota Mas.”
Semoga bermanfaat!!!!
Pdt. Lucky Matui
Thanks for sharing,.
BalasHapus