Sabtu, 07 September 2019

September 07, 2019

DUALISME PERJUANGAN PAPUA MERDEKA

“Entah apa yang membuat sampai Papua sulit dilepaskan dari NKRI? Apa si yang menjadi kelebihannya? Penampilannya saja, amburadu! Warnah kulitnya kan hitam, dan rambutnya pun amat sulit diatur? Iya kan? Kalau begitu apa yang menjadi kebanggaannya, wahai Papua?,” demikian ucap seorang teman saya bergurau, saat kami sedang berdiskusi sekitar masalah politik yang sedang hangat dibicarakan oleh publik nusantara. Tak peduli apa jadinya, salah seorang teman wanita kami yang turut terlibat dalam diskusi itu, tidak segan-segan menampar pipi rekan itu dan berkata: “Apa kau bilang? Memangya Papua tidak mempunyai kelebihan apa-apa? Ko epen ka? Coba tanyakan pada Tuhan, apa yang kurang dari Papua untuk Indonesia? Tuhan menciptakan Papua memang hitam dan keriting, tetapi manis dipandang.  Karena manisnya Papua, semua jenis semut dari berbagai tempat di Indonesia ini, dan bahkan semut-semut raksasa di belaan dunia pun datang berbondong-bondong berkerumun mencari manisannya, lalu dibawah pulang ke tempat asalnya. Sari manisnya diisap setiap semut, tetapi…, coba kau lihat.., apa dia pucat? Tidak kan? Mengapa tidak? Karena Tuhan membuatnya menjadi sumber mata air berkat bagi nasional dan internasional.
Sungguh kagum menyaksikan fragmen singkat yang diperankan oleh kedua sahabat saya. Dalam hati kecilku, benar juga ya, seperti yang dikatakan si Rosa, demikian nama teman wanita tadi. Fragmen singkat di atas itu sesungguhnya memberi kita suatu gambaran bahwa umumnya di atas nusantara, dan khususnya di negeri Papua, terdapat panorama persepsi yang menghiasi persada  negeri matahari terbit. Tindakan yang serasi dan selaras ditentukan oleh pandangan yang sama. Sungguh diakui bahwa terkadang persepsi kita berbeda karena adanya perbedaan di masing-masing orang. Tetapi, bila dicermati secara rasional, semua orang Papua pada prinsipnya berambut keriting dan hitam kulitnya. Ini seharusnya dipegang sebagai vondasi persepsi dan tindakan yang sama menuju cita-cita kebangsaan Papua.
Fenomena politik kemerdekaan Papua di atas negeri ini begitu tak menentu. Susah diterka dan dibaca oleh setiap insan. Ada apa dengan persepsi setiap orang Papua yang begitu berbeda dan tidak sama? Apakah karena begitu banyak suku dan bahasa; ataukah terlalu banyak faham indonesiaisme dan papuanisme yang begitu kental mengalir dalam darah masing-masing kelompok manusia Papua, sehingga keduanya saling berseberangan pikiran dan sikap.  Hal ini terlihat secara  praktis-politik di Papua bahwa kalau ada yang condong kepada faham “Garuda,” orang tersebut dicap oleh “Cenderawasih” sebagai penghianat alias “yudas,” perjuangan Papua; dan bila ada yang cenderung berbicara tentang Papua Merdeka, maka “Garuda” menjulukinya separatis, suversi dan pengacau keamanan negara. Pemahaman ini tidak dapat disangkal karena sudah ada di waktu lalu, di setiap hati orang Papua. Tanpa disadari oleh kita bahwa perbedaan persepsi semacam ini merupakan “pupuk” yang menyuburkan perpecahan di kalangan manusia Papua. Jangan salah, bila hal ini sering dipakai Indonesia untuk merancang strategi politik yang sistematis dalam rangka menghancurkan nasionalisme orang Papua menuju pada sebuah tekat kemerdekaan rasnya.
          Fakta sejarah membuktikan bahwa perjuangan Papua Merdeka hingga saat ini belum berjalan maksimal karena perbedaan persepsi itu.  Ketika 1965, perjuangan Papua merdeka oleh OPM, ada saja ditemui sejumlah manusia Papua yang ikut terlibat menjadi antek-antek Indonesia. Berbagai fasilitas, uang dan wanita menjadi hadia mempesona bagi mereka. Kesenangan para “yudas” Papua ini begitu asik di atas penderitaan saudaranya sendiri. Beberapa aktivis OPM harus ditangkap dan dimasukan dalam sel tahanan, bahkan ada pula yang harus mati, itu semua terjadi karena ulah para “yudas” Papua. Mengapa bisa terjadi? Seorang aktivis OPM yang pernah juga merasakan pahitnya penderitaan selama 14 tahun di LP Kalisosok Surabaya menutur “Bagaimana kita bisa menuju pada titik kemerdekaan dalam kebersamaan, bila saudara-saudara kita menjadi penghianat terhadap perjuangan hati nuraninya sendiri. Penghianat itu bukan saja ada di antara kelompok perjuangan kita, tetapi mereka yang dulu sekian lama berjuang untuk kemerdekaan, akhirnya harus kembali menghianati nilai perjuangan yang selama itu ditekuninya. Mereka itu ibarat seekor “anjing” hitam yang kembali menikmati muntah makanan yang dikeluarkan dari lambungnya!” Mendengar pernyataan ini saya begitu terheran karena si aktivis tersebut memang benar-benar mengungkapkan sakit hatinya terhadap beberapa rekan perjuangannya yang telah kembali ke Indonesia, dan mengakui kedaulatan NKRI atas Papua. Lalu, teringatlah saya akan beberapa aktivis Papua yang telah kembali mengakui eksistensi Indonesia di atas tanah Papua, seperti Nicolas Jouwe, Nick Messet, Frans Albert Joku, Alex Mebri dan masih ada yang lain lagi. Mudah-mudahan saya tidak berat sebelah dalam menilai keputusan mereka. Tetapi, mungkin saja - menurut pendapat saya - mereka telah kehilangan pengharapan akan datangnya kebebasan itu, saat berjuang di negeri-negeri diaspora tidak membuahkan hasil yang diharapkan.
          Berbeda dengan Benny Wenda di Inggris, Jack Rumbiak di Australia, dls, begitu mempertaruhkan seluruh hati dan jiwanya bagi perjuangan kemerdekaan bangsa Papua. Sekalipun dijuluki sebagai pemberontak terhadap NKRI dan disebut-sebut oleh para petinggi Indonesia sebagai dalang kerusuhan di Provinsi Papua dan Papua Barat pada Agustus 2019 lalu, tetapi dengan santun kasih berkomitmen bahwa perjuangan Papua Merdeka adalah realitas politik regional, nasional, asian dan dunia, yang lambat atau cepat akan menjadi kepastian hukum internasional. Apakah para pejuang kemerdekaan Papua semacam mereka ada memiliki pengharapan? Tak perlu saya jelaskan pada Anda, tetapi yang pasti iman dan pengharapan mereka bahwa ketika tertentu Tuhan pasti mengabulkannya. Oleh karena itu, para pejuang seperti Benny Wenda, Jack Rumbian dan teman-temannya, mana mungkin menjilat luda mereka untuk bergabung bersama NKRI.
Berbicara tentang “penghianat” itu bukanlah sesuatu yang tabu dalam sebuah perjuangan. Setiap negara mana pun di dunia ini, termasuk Indonesia sendiri, saat memperjuangkan kemerdekaan mereka, “penghianat” bangsa itu selalu saja ada dan bereksis. Untuk perjuangan kemerdekaan Papua sendiri, penghianat dan aktivis penghianat itu memang ada dan selalu ada sampai kemerdekaan itu diraih kelak. Hal ini menjadi indikator bahwa panorama persepsi manusia Papua begitu beragam perihal harga dirinya. Yang lain berjuang menuntut harga dirinya dengan jalan kebebasan mutlak, ada pula yang tetap mempertahankan identitasnya di dalam bingkai NKRI, dan ada juga yang abstain tentang perjuangan ini. Fenomena perjuangan kita seperti ini, jadinya nilai kebersamaan perjuangan Papua merdeka terlihat samar-samar untuk mencapi target maksimal? Tidak ada sesuatu yang dapat diraih tanpa ada persepsi dan tindakan yang sama. Perjuangan kemerdekaan bangsa Papua akan  diraih, hanya melalui persepsi dan tindakan kita yang sama.
Mungkinkah penilaian saya ini, menurut Anda, tidak tepat atau pun tepat,  itu hak setiap orang untuk menilainya. Tetapi, tulisan pendek ini hanya sebatas pemikiran sederhana saja yang dibagi pada Anda. Andaikan tidak tepat, mohon dimaafkan. Bahwa nilai perjuangan yang selama ini menjadi dasar pikir, pijak dan juang adalah filosofi perjuangan Papua. Semenjak orang tua-orang tua kita, yang pada waktu lalu turut terlibat dalam misi ini, kurang begitu memberi pemahaman filosofi perjuangan Papua, mengakibatkan generasi kita di saat ini sudah kehilangan motivasi dan komitmen dalam menyusun bangunan perjuangan itu. Papuanisme kurang mendapat tempat di hati generasi kita. Nasionalisme Papua tidak ditanamkan secara sistematis dan berakar pada cakrawala berpikir generasi baru Papua. Mungkin saja kesalahan seperti ini yang membuat kita sekarang mengalami abrasi nasionalisme. Ya, saya sendiri pun menyadari, kalau selama ini ada muncul rasa skeptis di antara kita akan perjuangan ini. Yang sungguh mengherankan lagi ialah para aktivis yang pernah berjuang untuk kemerdekaan Papua, sekarang telah berbalik menjilat ludah mereka, lalu menunjukkan sikap konfrontasi terhadap perjuangan yang dilakukan oleh generasi muda Papua. Adakah hal ini membantu semangat perjuangan Papua merdeka? Nonses!!! Nah, karena itu, lupakanlah segala konfrontir dan kesalahan sejarah masa lalu.  Sebagai generasi baru Papua, kita perlu memulai sesuatu yang baru dalam filosofi perjuangan ini, yaitu Kemerdekaan Papua adalah harga MATI. Kalau demikian terjadi, maka saya percaya nasionalisme tetap bertumbuh subur, komitmen kita menjadi bulat, persepsi menjadi sama, sehingga tindakan kitapun selaras menuju Papua Merdeka.
Perbedaan itu boleh-boleh saja, tetapi ingat, komitmen itu jangan sekali-kali sampe berubah, sebab hanya dialah yang menjadi motivator dalam perjuangan kita menuju kebebasan Ras Papua-Melanesia.

Semoga bermanfaat!!!
 Pdt. Lucky Matui,S.Th 

0 komentar:

Posting Komentar