DUALISME PERJUANGAN PAPUA MERDEKA
“Entah apa yang membuat sampai Papua sulit dilepaskan dari
NKRI? Apa si yang menjadi kelebihannya? Penampilannya saja, amburadu! Warnah
kulitnya kan hitam, dan rambutnya pun amat sulit diatur? Iya kan? Kalau begitu
apa yang menjadi kebanggaannya, wahai Papua?,” demikian ucap seorang teman saya
bergurau, saat kami sedang berdiskusi sekitar masalah politik yang sedang
hangat dibicarakan oleh publik nusantara. Tak peduli apa jadinya, salah seorang
teman wanita kami yang turut terlibat dalam diskusi itu, tidak segan-segan
menampar pipi rekan itu dan berkata: “Apa kau bilang? Memangya Papua tidak
mempunyai kelebihan apa-apa? Ko epen ka? Coba tanyakan pada Tuhan, apa yang
kurang dari Papua untuk Indonesia? Tuhan menciptakan Papua memang hitam dan
keriting, tetapi manis dipandang. Karena manisnya Papua, semua jenis
semut dari berbagai tempat di Indonesia ini, dan bahkan semut-semut raksasa di
belaan dunia pun datang berbondong-bondong berkerumun mencari manisannya, lalu
dibawah pulang ke tempat asalnya. Sari manisnya diisap setiap semut, tetapi…,
coba kau lihat.., apa dia pucat? Tidak kan? Mengapa tidak? Karena Tuhan
membuatnya menjadi sumber mata air berkat bagi nasional dan internasional.
Sungguh kagum menyaksikan fragmen singkat yang diperankan
oleh kedua sahabat saya. Dalam hati kecilku, benar juga ya, seperti yang
dikatakan si Rosa, demikian nama teman wanita tadi. Fragmen singkat di atas itu
sesungguhnya memberi kita suatu gambaran bahwa umumnya di atas nusantara, dan
khususnya di negeri Papua, terdapat panorama persepsi yang menghiasi
persada negeri matahari terbit. Tindakan yang serasi dan selaras
ditentukan oleh pandangan yang sama. Sungguh diakui bahwa terkadang persepsi
kita berbeda karena adanya perbedaan di masing-masing orang. Tetapi, bila
dicermati secara rasional, semua orang Papua pada prinsipnya berambut keriting
dan hitam kulitnya. Ini seharusnya dipegang sebagai vondasi persepsi dan
tindakan yang sama menuju cita-cita kebangsaan Papua.
Fenomena politik kemerdekaan Papua di atas negeri ini begitu
tak menentu. Susah diterka dan dibaca oleh setiap insan. Ada apa dengan
persepsi setiap orang Papua yang begitu berbeda dan tidak sama? Apakah karena
begitu banyak suku dan bahasa; ataukah terlalu banyak faham indonesiaisme dan
papuanisme yang begitu kental mengalir dalam darah masing-masing kelompok
manusia Papua, sehingga keduanya saling berseberangan pikiran dan sikap.
Hal ini terlihat secara praktis-politik di Papua bahwa kalau ada yang
condong kepada faham “Garuda,” orang tersebut dicap oleh “Cenderawasih” sebagai
penghianat alias “yudas,” perjuangan Papua; dan bila ada yang cenderung
berbicara tentang Papua Merdeka, maka “Garuda” menjulukinya separatis, suversi
dan pengacau keamanan negara. Pemahaman ini tidak dapat disangkal karena sudah
ada di waktu lalu, di setiap hati orang Papua. Tanpa disadari oleh kita bahwa
perbedaan persepsi semacam ini merupakan “pupuk” yang menyuburkan perpecahan di
kalangan manusia Papua. Jangan salah, bila hal ini sering dipakai Indonesia
untuk merancang strategi politik yang sistematis dalam rangka menghancurkan
nasionalisme orang Papua menuju pada sebuah tekat kemerdekaan rasnya.
Fakta sejarah membuktikan bahwa
perjuangan Papua Merdeka hingga saat ini belum berjalan maksimal karena
perbedaan persepsi itu. Ketika 1965, perjuangan Papua merdeka oleh OPM,
ada saja ditemui sejumlah manusia Papua yang ikut terlibat menjadi antek-antek
Indonesia. Berbagai fasilitas, uang dan wanita menjadi hadia mempesona bagi
mereka. Kesenangan para “yudas” Papua ini begitu asik di atas penderitaan
saudaranya sendiri. Beberapa aktivis OPM harus ditangkap dan dimasukan dalam
sel tahanan, bahkan ada pula yang harus mati, itu semua terjadi karena ulah
para “yudas” Papua. Mengapa bisa terjadi? Seorang aktivis OPM yang pernah juga
merasakan pahitnya penderitaan selama 14 tahun di LP Kalisosok Surabaya menutur
“Bagaimana kita bisa menuju pada titik kemerdekaan dalam kebersamaan, bila
saudara-saudara kita menjadi penghianat terhadap perjuangan hati nuraninya
sendiri. Penghianat itu bukan saja ada di antara kelompok perjuangan kita,
tetapi mereka yang dulu sekian lama berjuang untuk kemerdekaan, akhirnya harus
kembali menghianati nilai perjuangan yang selama itu ditekuninya. Mereka itu
ibarat seekor “anjing” hitam yang kembali menikmati muntah makanan yang
dikeluarkan dari lambungnya!” Mendengar pernyataan ini saya begitu terheran
karena si aktivis tersebut memang benar-benar mengungkapkan sakit hatinya
terhadap beberapa rekan perjuangannya yang telah kembali ke Indonesia, dan
mengakui kedaulatan NKRI atas Papua. Lalu, teringatlah saya akan beberapa
aktivis Papua yang telah kembali mengakui eksistensi Indonesia di atas tanah
Papua, seperti Nicolas Jouwe, Nick Messet, Frans Albert Joku, Alex
Mebri dan masih ada yang lain lagi. Mudah-mudahan saya tidak berat sebelah
dalam menilai keputusan mereka. Tetapi, mungkin saja - menurut pendapat saya - mereka
telah kehilangan pengharapan akan datangnya kebebasan itu, saat berjuang di
negeri-negeri diaspora tidak membuahkan hasil yang diharapkan.
Berbeda dengan Benny Wenda di Inggris,
Jack Rumbiak di Australia, dls, begitu mempertaruhkan seluruh hati dan jiwanya
bagi perjuangan kemerdekaan bangsa Papua. Sekalipun dijuluki sebagai
pemberontak terhadap NKRI dan disebut-sebut oleh para petinggi Indonesia
sebagai dalang kerusuhan di Provinsi Papua dan Papua Barat pada Agustus 2019
lalu, tetapi dengan santun kasih berkomitmen bahwa perjuangan Papua Merdeka
adalah realitas politik regional, nasional, asian dan dunia, yang lambat atau
cepat akan menjadi kepastian hukum internasional. Apakah para pejuang
kemerdekaan Papua semacam mereka ada memiliki pengharapan? Tak perlu saya
jelaskan pada Anda, tetapi yang pasti iman dan pengharapan mereka bahwa ketika
tertentu Tuhan pasti mengabulkannya. Oleh karena itu, para pejuang seperti
Benny Wenda, Jack Rumbian dan teman-temannya, mana mungkin menjilat luda
mereka untuk bergabung bersama NKRI.
Berbicara tentang “penghianat” itu bukanlah sesuatu yang
tabu dalam sebuah perjuangan. Setiap negara mana pun di dunia ini, termasuk
Indonesia sendiri, saat memperjuangkan kemerdekaan mereka, “penghianat” bangsa
itu selalu saja ada dan bereksis. Untuk perjuangan kemerdekaan Papua sendiri,
penghianat dan aktivis penghianat itu memang ada dan selalu ada sampai
kemerdekaan itu diraih kelak. Hal ini menjadi indikator bahwa panorama persepsi
manusia Papua begitu beragam perihal harga dirinya. Yang lain berjuang menuntut
harga dirinya dengan jalan kebebasan mutlak, ada pula yang tetap mempertahankan
identitasnya di dalam bingkai NKRI, dan ada juga yang abstain tentang
perjuangan ini. Fenomena perjuangan kita seperti ini, jadinya nilai kebersamaan
perjuangan Papua merdeka terlihat samar-samar untuk mencapi target maksimal?
Tidak ada sesuatu yang dapat diraih tanpa ada persepsi dan tindakan yang sama.
Perjuangan kemerdekaan bangsa Papua akan diraih, hanya melalui persepsi dan tindakan
kita yang sama.
Mungkinkah penilaian saya ini, menurut Anda, tidak tepat
atau pun tepat, itu hak setiap orang
untuk menilainya. Tetapi, tulisan pendek ini hanya sebatas pemikiran sederhana saja yang
dibagi pada Anda. Andaikan tidak tepat, mohon dimaafkan. Bahwa nilai
perjuangan yang selama ini menjadi dasar pikir, pijak dan juang adalah filosofi
perjuangan Papua. Semenjak orang tua-orang tua kita, yang pada waktu lalu turut
terlibat dalam misi ini, kurang begitu memberi pemahaman filosofi perjuangan
Papua, mengakibatkan generasi kita di saat ini sudah kehilangan motivasi dan
komitmen dalam menyusun bangunan perjuangan itu. Papuanisme kurang mendapat
tempat di hati generasi kita. Nasionalisme Papua tidak ditanamkan secara
sistematis dan berakar pada cakrawala berpikir generasi baru Papua. Mungkin
saja kesalahan seperti ini yang membuat kita sekarang mengalami abrasi
nasionalisme. Ya, saya sendiri pun menyadari, kalau selama ini ada muncul rasa
skeptis di antara kita akan perjuangan ini. Yang sungguh mengherankan lagi
ialah para aktivis yang pernah berjuang untuk kemerdekaan Papua, sekarang telah
berbalik menjilat ludah mereka, lalu menunjukkan sikap konfrontasi terhadap
perjuangan yang dilakukan oleh generasi muda Papua. Adakah hal ini membantu
semangat perjuangan Papua merdeka? Nonses!!! Nah, karena itu, lupakanlah segala
konfrontir dan kesalahan sejarah masa lalu. Sebagai generasi baru Papua,
kita perlu memulai sesuatu yang baru dalam filosofi perjuangan ini, yaitu
Kemerdekaan Papua adalah harga MATI. Kalau demikian terjadi, maka saya percaya
nasionalisme tetap bertumbuh subur, komitmen kita menjadi bulat, persepsi
menjadi sama, sehingga tindakan kitapun selaras menuju Papua Merdeka.
Perbedaan
itu boleh-boleh saja, tetapi ingat, komitmen itu jangan sekali-kali sampe
berubah, sebab hanya dialah yang menjadi motivator dalam perjuangan kita menuju
kebebasan Ras Papua-Melanesia.
Semoga
bermanfaat!!!
Pdt. Lucky Matui,S.Th
0 komentar:
Posting Komentar