Kamis, 26 September 2019

September 26, 2019

MENGHINA NAFAS YANG SAMA

"Melihatmu? Maaf, di matamu tersimpan sejuta kebencian dalam sejarah," demikian ungkap si Nafas Hitam. Dengar kisahnya di bawah ini:
Ketika kita duduk bersama, kau berkata: "Nafas Hitam, apapun yang terjadi, kau adalah saudaraku!" Ungkapanmu begitu jelas di teras telingaku; sampai-sampai aku terbuai melempar senyum untukmu, karena aku percaya bahwa semua yang terlontar dari bibirmu adalah ungkaan isi hatimu yang tulus.
Beberapa waktu kemudian, saat kita berkumpul bersama sahabat-sahabata yang serupa dengan kita, kau merangkuli aku dan berkata: "Saudara-saudara sekalian, lihat, di sini, di atas panggung nusantara ini, ada hadir saudara kita dari timur matahari terbit; ia bernama Nafas Hitam. Ia hitam manis! Senyumannya pun manis." Semuanya tersenyum dan menyapaku dengan lembut, sambil berkata: "Selamat datang dan selamat bergabung bersama di atas panggung nusantara!"
Selang waktu kemudian, kau mengajak aku makan bersama, minum segelas bersama, dan bahkan duduk dan berbaring di atas karpet hijaumu, sambil bercerita tentang Nusantara, dari Sabang sampai Merauke. Saat itu, benar-benar kebahagiaanku melambung ke langit biru, hampi-hampir sejajar dengan puncak pegunungan Cartenz, sebab keyakinku, aku adalah bagian dari Nusantara.
Tetapi, saat ketika kita berdiskusi tentang PERBEDAAN, matamu mulai melirik aku dengan senyum tipis, bibirmu komat-kami bersama mereka yang lain; kau melirik aku penuh curiga. Ternyata, semua yang kau katakan adalah BOHONG belaka; ternyata kau merangkul aku dan mengajak berdansa-gembira di atas pangungmu, tetapi semuanya hanya bohong belaka. Di atas pangung kita menyanyi bersama tentang SATU NUSA, SATU BANGSA, tetapi di bawah panggung, kau menghina aku sebagai yang terkebelakang, terbodoh, tertinggal, terhitam, terkeriting, dls. Sebutan "ter"mu itu, bagiku itu karena vondasi pandangan sejarang masa lalu yang tertanam kuat dalam memorimu. Bukan itu saja. Ada pula ungkapan sindiran yang melekat pada bibirmu, yang selalu saja kau samakan aku dengan hewan peliharaan yang ada di kebun binatangmu: Monyet, Kera, Tikus, Anjing, Babi,.....dls. Apa sikapku kepadamu, Nafas Putih? Aku hanya diam! Mengapa aku harus diam? Karena ketika aku marah dan memberontak, selalu saja Penguasamu menyebut berita itu hanya sebagai HOAX belaka. Jadi, mendingan diam saja, dan biarkanlah dunia dan langit melihat peristiwa itu dan menjadi pengadil di antara kita.
Hai.... Nafas Putih, kau adalah sahabatku! Bagiku, penghinaanmu itu bukan baru kali ini terjadi, tetapi sudah berkali-kali dan sedemikian lama dalam sejarah nusantara ini. Aku hanya diam, ya, hanya diam.....!!!
Nafas Putih, sahabatku! Entah kapan, aku tak tahu, tetapi dari keyakinan dan harapanku pada Sang Pencipta Nafas, yang menciptakan nafas yang sama dalam raga kita, persahabatan kita pasti akan berakhir. Nusantara ini akan kehilangan nafasku pada waktu tertentu. SATU NUSA dan SATU BANGSA, lagu yang sering kita nyanyi bersama, dalam hembusan nafas yang sama, tak akan lagi hidup bersama. Mengapa? Karena engkau telah menghina nafas yang sama, nafas pemberian Sang Pencipta Nafas, dalam diriku dan dirimu.


Acemo.......!!!!!
(Salam dari Nafas Hitam)

0 komentar:

Posting Komentar