Minggu, 01 Maret 2020

Maret 01, 2020

PANDANGAN TERHADAP PERKAWINAN POLIGAMI
Pdt. Lucky Matui, S.Th

 A.   POLIGAMI: Suatu pengertian
Poligami adalah satu bentuk perkawinan yang sering dijumpai dalam berbagai konteks masyarakat; entah masyarakat elit, menegah dan bawah, baik itu dalam dunia tradisional maupun modern.  Poligami adalah perkawinan seorang laki-laki dengan isteri yang lebih dari satu; sedangkan Poliandri adalah perkawinan antara seorang perempuan dengan suami yang lebih dari satu. Bentuk perkawinan ini sangat berlawanan dengan bentuk perkawinan monogami (perkawinan dengan satu isteri). Kebanyakan pada lapisan masyarakat tertentu bentuk monogami dipandang sebagai perkawinan yang positif, sedangkan poligami bersifat negatif. Akan tetapi, perlu disadari pula bahwa ada komunitas manusia lain, pada konteks budaya tertentu yang menurut mereka, perkawinan poligami merupakan hal yang wajar-wajar saja. Demikianlah terjadi suatu kontradiksi perkawinan antara poligami dan monogami di kalangan masyarakat tertentu.
Dalam pembahasan topik kali ini tidak dibicarakan soal kontradiksi dua bentuk perkawinan (poligami vs monogami) itu, yang ada ialah pembahasan tentang berbagai pandangan terhadap bentuk perkawinan poligami, antara lain pandangan dari budaya, gereja dan alkitab. Setelah menguraikan pandangan-pandangan tersebut, suatu analisis kritis penulis dijadkan sebagai pokok bahasan terakhir pada tulisan ini.

B.     PANDANGAN TERHADAP PERKAWINAN POLIGAMI
1.     Menurut Budaya
Perkawinan poligami merupakan hasil karya (budaya) dari manusia sendiri pada satu konteks tertentu. Itulah sebabnya, bukanlah tidak mungkin kalau poligami itu bertumbuh subur dalam kebudayaan. Berbicara tentang perkawinan poligami menurut konsep budaya sangatlah luas.  Sebab itu, untuk merumuskan pandangan kebudayaan tentang perkawinan poligami, ada beberapa sampel konteks budaya Papua yang diangkat dalam rangka mengerti pokok ini.
Perkawinan poligami menurut budaya umumnya memiliki konsep  yang sama, walaupun pada konteks yang berbeda. Kesamaan di sini adalah menyangkut faktor pendorong yang mendasar terjadinya perkawinan itu, yaitu faktor-faktor prakxis (ekonomi, social dn politik). Misalnya di waktu yang lalu ada beberapa suku di Papua, seperti Biak, Yapen-Waropen, pedalaman Sarmi, Muju, Kapaoku, dls, mereka tidak melarang adanya perkawinan poligami karena faktor praxis tadi. Sebaiknya kita langsung saja melihat faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya perkawinan poligami.
a.    Faktor keturunan
a.1   Apabila seorang isteri mandul tidak menghasilkan anak, maka suaminya mengambil isteri yang kedua untuk mendapat anak; dan
a.2   Bila yang dapat dari isteri pertama adalah anak-anak perempuan, maka sang suami membawa isteri kedua untuk mencari anak laki-laki guna meneruskan keturunannya.
b.     Faktor budaya levirat
Seorang laki-laki bila mati meninggalkan isteri dan anak-anaknya, maka adik atau kakak dari laki-laki tersebut, walaupun sudah beristeri dan punya anak, ia diharuskan untuk kawin dengan isteri kakak atau adiknya dalam rangka sebagai pelindung keluarga.
c.     Faktor ekonomi
Apabila isteri pertama sudah tua, atas persetujuan bersama suami-isteri, sang suami diizinkan mengambil isteri kedua (isteri muda) untuk dikawininya. Isteri kedua mempunyai peranan sangat penting dalam keluarga; ia mengerjakan pekerjaan rumah tangga, berkebun, meneruskan keturunan dan sebgainya, menggantikan peranan isteri pertama yang sudah tidak produktif lagi.
d.    Faktor prestise
Faktor ini tidak untuk semua lapisan masyarakat. Maksudnya kebiasaan poligami hampir saja di kalangan orang-orang yang memiliki status ekonomi baik, dan juga bagi mereka yang terpandang (pahlawan, kepala suku, dsb) dalam masyarakat tertentu. Bagi mereka, perkawinan poligami merupakan sarana penunjukkan pribadi seorang laki-laki yang hebat, terkenal di kalangan masyarakatnya.
Penjelasan keempat faktor di atas mempunyai suatu konklusi sementara kalau ternyata perkawinan poligami ini diakui dan diterima sebagai satu bentuk perkawinan dalam satu komunitas tradisional (suku). Sisi adat mengakui eksistensi perkawinan ini. Perkawinan poligami yang terjadi dalam satu konteks budaya tertentu, bagi para pelaku, hal itu tidak menunjukkan dekadensi (kemerosotan) moralnya. Tetapi, sebalinya praktek itu yang malah membuat dirinya sebagai orang yang terhormat dan disegani di mata masyarakatnya. Sekali lagi ditegaskan bahwa perkawinan poligami umumnya dalam konteks budaya diakui dan diterima sebagai satu bentuk perkawinan yang sah.
2.    Menurut Gereja
Berbicara tentang pandangan Gereja terhadap perkawinan poligami pada dasarnya selalu bercermin pada firman Tuhan di dalam Alkitab. Sebab itu, pandangan Gereja sangat indentik dengan pandangan Alkitab, setelah ia memahaminya dan merefleksikan dalam hidup dan pekerjaannya.
Dalam Pedoman Pelayanan Gereja Kristen Injili Di Irian Jaya (sekarang di tanah Papua) Bab II pasal 7 ayat 1 menyebutkan: “Suatu pernikahan/perkawinan Kristen dapat diterima dan diakui sah apabila diberkati oleh Gereja.” Pernyataan ini, walau tidak secara transparan, menyebut tentang perkawinan bentuk apa, apakah poligami atau monogami?  Namun, sangat jelas terlihat dalam prakteknya bahwa selama ini bentuk perkawinan yang selalu diberkati oleh Gereja adalah monogami (satu isteri). Ini diakui dan dianggap sah sebagai perkawinan Kristen. Sedangkan perkawinan poligami tidak diakui untuk dilayani dalam ibadah pernikahan Gereja.
Selanjutnya, penjelasan tentang perkawinan orang Kristen menurut UU No. 1 Tahun 1974, yang diuraikan oleh S. A Manula, S.Th, dalam majalah “Pelita Kristen”, edisi April-Mei 1986 no. 204, 205, tahun XVII bahwa pernikahan orang Kristen adalah monogami, bukan poligami. Pernikahan ini diumpamakan kepala dan tubuh; suami kepala dan isteri tubuhnya. Kepala yang satu ini mempunyai satu tubuh pula. Dalam Injil Matius 19 menjelaskan bahwa oleh zinah (kawin dengan perempuan selain dengan isterinya) maka pernikahan dapat diceraikan. Tetapi, bila perceraian itu tidak memiliki alasan yang kuat lalu pergi beristeri dengan perempuan lain maka ia telah berzinah (ayt. 8-10).
Bagi Gereja, di dalam perkawinan monogami terletak cinta kasih yang tulus murni; sedangkan poligami cintanya menjadi terbagi. Ketika seorang laki-laki memiliki dua orang isteri, cinta yang tulus dan murni  pun terbagi menjadu dua: 50% untuk yang satu dan 50% untuk yang lainnya, tidak lagi 100% untuk satu yang dicintai. Apabila hal ini terjadi dalam satu rumah tangga, akibatnya yang nampak ialah kecemburuan, perselisihan, pertengkaran bahkan sampai pada tingkat kekerasan pembunuhan. Demikian dampak dari poligami itu.
Oleh karena itu, bertolahk dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya Gereja (Agama Kristen) tidak menerima terjadinya perkawinan poligami bagi setiap orang Kristen, karena melihat dari dampak-dampak negatif yang akan muncul bagi keluarga, tetapi juga dapat mengarahkan pada demoralisasi keluarga.
3.    Menurut Alkitab
Alkitab tidak pernah mengajarkan kepada orang-orang percaya  untuk menikah secara poligami. Alkitab membuktikan secara nyata bahwa seorang laki-laki yang berpoligami bukan ditentukan atau diatur oleh Allah, melainkan oleh kecenderungan manusia itu sendiri. Akan tetapi, pertanyaan bagi kita, kalau memang demikian, mengapa Allah seolah-olah mengizinkan manusia untuk berpoligami pada zaman perjanjian lama. Misalnya kita lihat seperti Abraham, Yakub, Elkana, Daud dan Salomo. Mereka ini adalah tokoh-tokoh spiritual yang dipilih dan dipanggil Allah sebagai “alat”Nya dalam dunia. Lalu, mengapa mereka harus bersikap demikian?
Memang dalam dunia sejarah Perjanjian Lama perkawinan poligami bertumbuh subur di kalangan para rohaniwan Israel. Apakah Allah menghendaki perkawinan poligami berlaku dalam hidup para rohaniwan? Tidak! Alkitab membuktikan pada mulanya Allah telah menciptakan  Undang-undang Perkawinan dalam Kejadian 2:24, yaitu perkawinan dengan rumusan 1+1=1 bukan 1+1+1=3; atau dengan kata lain seorang laki-laki mengawini seorang perempuan hingga menjadi satu, bukan mengawini dua orang perempuan sehingga menjadi tiga. Undang-undang perkawinan monogami itu sebenarnya menjadi patokan perkawinan manusia, tetapi setelah manusia jatuh dalam dosa, undang-undang itu tidak lagi di taati melainkan dibuatnya menjadi poligami.  Jadi, dalam hal ini manusialah yang mempunyai sifat kecenderungan pada bentuk poligami itu, dan bukannya Allah. Di dalam diri Allah tidak ada niat menjadikan manusia berpoligami melainkan monogami.
Kalau mungkin secara sepintas kita melihat dalam perjanjian lama menyebutkan tentang poligami, maka untuk perjanjian baru sangat radikal menolak bentuk perkawinan itu. Ketika Yesus hadir dalam dunia perjanjian baru, bentuk poligami sangat keras ditantangNya. Kehadiran Yesus bukan saja membaharui hubungan antara manusia dengan Allah, melainkan di dalamnya bentuk perkawinan poligami dirombak dan dihapuskan; dan kemudian Ia menggantikannya dengan bentuk perkawinan monogami. Matius 19:8 menjelaskan bahwa Yesus tidak mengakui perkawinan poligami yang dulunya diizinkan oleh nabi Musa. Bagi Yesus, bukan Musalah yang bersalah, melainkan oleh karena ketegaran Israel maka poligami diberlakukan.
Setelah tokoh Yesus, mahaguru para rasul, seorang rasul terkemuka perjanjian baru, Paulus, secara radikal dan transparan menolak poligami dalam kehidupan dan persekutuan orang-orang percaya. Suratnya kepada Timotius di Efesus ketika ditulisnya dari Roma, ia mengatakan bahwa seorang Kristen yang hendak diangkat menjadi Penilik jemaat, hendaknya orang itu mempunyai satu isteri (monogami) dan bukan poligami (lih. 1 Tim 3:1-7).
Dengan demikian, mulai dari poin 1-3 dimengerti kalau pandangan budaya terhadap perkawinan poligami diakui sebagai salah satu bentuk perkawinan yang dapat berlaku bagi setiap orang pada konteks tertentu. Sedangkan sebaliknya pandangan Gereja dan Alkitab pada prinsipnya sangat kontradiktif dengan pandangan yang pertama. Malah bentuk poligami dengan tegas ditolak untuk diberlakukan dalam kehidupan dan persekutuan orang Kristen.

C.    ANALISA PERSOALAN
1.    Dua pertimbangan terhadap Poligami
Pada satu pihak diakui bentuk perkawinan poligami mendatangkan akibat-akibat fatal kepada pribadi dan keluarga. Sehingga sangat transparan kalau Gereja menolak bentuk perkawinan itu untuk diberlakukan dalam kehidupan orang-orang Kristen. Lebih jelas diuraikan beberapa akibat dari perkawinan poligami.
a.     Dosa
Poligami adalah melawan Allah, dosa, mengakibatkan kehidupan tidak ada kedamaian, yang ada ialah pertengkaran (Rum 3:17; 6:23).
b.     Pendidikan anak-anak menjadi rusak
b.1  Tidak ada waktu dan kesempatan untuk anak-anak.
b.2  Orang tua tidak mampu mendidik anak-anak untuk bertumbuh secara fisik, moral dan iman.
b.3  Tidak ada gairah, pengertian dan tanggung jawab yang baik.
b.4  Contoh yang baik, pendidikan yang baik tidak lagi jelas. Tidak heran kalau anak-anaknya juga rusak kesucian, tabiat dan rohaninya.
c.     Rohani dan hidup keluarga rusak
Dalam keluarga timbul problema yang tidak ada habis-habisnya. Lihat rumah tangga Daud kacau dan penuh krisis, sehingga anaknya sendiri, Absalom, melakukan kekerasan membunuh ayahnya sendiri. Salomo mempunyai banyak isteri, walaupun berhikmat, tetapi ia telah jatuh dalam dosa perzinahan (poligami).
d.     Nafkah, kesehatan dan lain-lain rusak
Orang yang menuruti daging akan mengalami banyak celaka dan kerusakan rohani dan jasmani sampai akhirnya binasa.
2.    Bertindak sebagai Konselor
Apa yang mau dibuat untuk menyelesaikan masalah perkawinan poligami, saat kita bertindak sebagai konselo? Saya punya konsep langkah yang mungkin tidak terlalu memadai, bila Anda hendak menggunakannya, walau saya percaya Anda pun punya langkah-langkah yang lain. Tetapi, bagi saya, setidak-tidaknya langkah yang saya kemukakan ini bisa menembah perbendaharaan langkah untuk menyelesaikannya.
Pertama, apabila praktek poligami hendak dilaksanaan oleh seorang lelaki, maka tindakan konselor adalah mencari tahu faktor-faktor yang mengakibatkan sehingga lelaki itu mau beristeri yang kedua kalinya. Setelah mendapat penyebab-penyebab barulah konselor memulai dengan tindakan konselingnya.
Kedua, apabila poligami itu sudah lama terjadi dan mendatangkan dampak-dampak negatif, maka di sinilah konselor hendaknya bukan menjauhkan diri dari mereka, tetapi mencoba untuk menetralisir persoalan dalam rangka mengembalikan kehidupan bahagia keluarga itu. Sebagai konselor (gereja) sudah harus tahu bahwa orang yang berpoligami adalah umat ciptaan Allah, sama seperti kita, karena itu ia harus ditolong. Apabila kita menolak mereka untuk ditolong masuk dalam gereja Tuhan, berarti kita sedang menutup “pintu sorga” yang telah dibukakan Allah bagi kita dan mereka. Selanjutnya, jika kita hanya mau menerima seorang laki-laki dengan isterinya yang pertama bersama anak-anaknya, berarti isteri/isteri-isteri yang lain harus diceraikan. Kalau tindakan ini yang diambil maka akan menyalahi prinsip-prinsip etika Kristen, karena tindak sesuai dengan hukum Kasih. Oleh karena itu, seorang konselor, siapapun orangnya,  harus menyadari beberapa hal di bawah ini.
a.     Allah tidak menghendaki kita untuk menceraikan suatu pasangan suami-isteri;
b.      Kita tidak harus menjadi “hakim”, sekalipun keluarga itu dibangun di atas dasar kekafiran;
c.      Perceraian bukan jalan satu-satunya untuk mencapai penyelesaian. Perceraian justru akan mengakibatkan keterlantaran bekas isteri dan anak yang dilahirkannya; dan
d.        Bekas suami-isteri yang telah diceraikan itu oleh dorongan nafsunya dapat menimbulkan dosa-dosa baru.

KESIMPULAN
Walaupun keluarga poligami tidak diakui eksistensinya dalam keabsahan hukum, namun bagi Gereja (konselor) siap untuk melayaninya dengan kasih sayang, sebagaimana Yesus melayani seorang perempuan Samaria yang berpoliandri di sumur Yakub (Lih. Yoh 4:1-42). Konselor bukannya mengambil sikap menjauh dari mereka sebagai pelaku poligami, tetapi merangkul mereka untuk mengakui kesalahan dan membawa mereka berjumpa Yesus dalam kebenaran sejati.
Semoga bermanfaat!!!!

0 komentar:

Posting Komentar