PANDANGAN TERHADAP
PERKAWINAN POLIGAMI
Pdt. Lucky Matui, S.Th
A. POLIGAMI: Suatu
pengertian
Poligami adalah satu bentuk perkawinan yang sering
dijumpai dalam berbagai konteks masyarakat; entah masyarakat elit, menegah dan
bawah, baik itu dalam dunia tradisional maupun modern. Poligami adalah
perkawinan seorang laki-laki dengan isteri yang lebih dari satu; sedangkan
Poliandri adalah perkawinan antara seorang perempuan dengan suami yang lebih
dari satu. Bentuk perkawinan ini sangat berlawanan dengan bentuk perkawinan
monogami (perkawinan dengan satu isteri). Kebanyakan pada lapisan masyarakat
tertentu bentuk monogami dipandang sebagai perkawinan yang positif, sedangkan
poligami bersifat negatif. Akan tetapi, perlu disadari pula bahwa ada komunitas
manusia lain, pada konteks budaya tertentu yang menurut mereka, perkawinan
poligami merupakan hal yang wajar-wajar saja. Demikianlah terjadi suatu
kontradiksi perkawinan antara poligami dan monogami di kalangan masyarakat
tertentu.
Dalam pembahasan topik kali ini tidak dibicarakan soal
kontradiksi dua bentuk perkawinan (poligami vs monogami) itu, yang ada ialah
pembahasan tentang berbagai pandangan terhadap bentuk perkawinan poligami,
antara lain pandangan dari budaya, gereja dan alkitab. Setelah menguraikan
pandangan-pandangan tersebut, suatu analisis kritis penulis dijadkan sebagai
pokok bahasan terakhir pada tulisan ini.
B. PANDANGAN TERHADAP
PERKAWINAN POLIGAMI
1. Menurut Budaya
Perkawinan poligami merupakan hasil karya (budaya)
dari manusia sendiri pada satu konteks tertentu. Itulah sebabnya, bukanlah
tidak mungkin kalau poligami itu bertumbuh subur dalam kebudayaan. Berbicara
tentang perkawinan poligami menurut konsep budaya sangatlah luas. Sebab
itu, untuk merumuskan pandangan kebudayaan tentang perkawinan poligami, ada
beberapa sampel konteks budaya Papua yang diangkat dalam rangka mengerti pokok
ini.
Perkawinan poligami menurut budaya umumnya memiliki
konsep yang sama, walaupun pada konteks yang berbeda. Kesamaan di sini
adalah menyangkut faktor pendorong yang mendasar terjadinya perkawinan itu,
yaitu faktor-faktor prakxis (ekonomi, social dn politik). Misalnya di waktu
yang lalu ada beberapa suku di Papua, seperti Biak, Yapen-Waropen, pedalaman
Sarmi, Muju, Kapaoku, dls, mereka tidak melarang adanya perkawinan poligami
karena faktor praxis tadi. Sebaiknya kita langsung saja melihat faktor-faktor
yang mengakibatkan terjadinya perkawinan poligami.
a. Faktor
keturunan
a.1 Apabila
seorang isteri mandul tidak menghasilkan anak, maka suaminya mengambil isteri
yang kedua untuk mendapat anak; dan
a.2 Bila
yang dapat dari isteri pertama adalah anak-anak perempuan, maka sang suami
membawa isteri kedua untuk mencari anak laki-laki guna meneruskan keturunannya.
b. Faktor
budaya levirat
Seorang
laki-laki bila mati meninggalkan isteri dan anak-anaknya, maka adik atau kakak
dari laki-laki tersebut, walaupun sudah beristeri dan punya anak, ia diharuskan
untuk kawin dengan isteri kakak atau adiknya dalam rangka sebagai pelindung
keluarga.
c. Faktor ekonomi
Apabila isteri
pertama sudah tua, atas persetujuan bersama suami-isteri, sang suami diizinkan
mengambil isteri kedua (isteri muda) untuk dikawininya. Isteri kedua mempunyai
peranan sangat penting dalam keluarga; ia mengerjakan pekerjaan rumah tangga,
berkebun, meneruskan keturunan dan sebgainya, menggantikan peranan isteri
pertama yang sudah tidak produktif lagi.
d. Faktor prestise
Faktor ini tidak untuk semua lapisan masyarakat. Maksudnya kebiasaan
poligami hampir saja di kalangan orang-orang yang memiliki status ekonomi baik,
dan juga bagi mereka yang terpandang (pahlawan, kepala suku, dsb) dalam
masyarakat tertentu. Bagi mereka, perkawinan poligami merupakan sarana
penunjukkan pribadi seorang laki-laki yang hebat, terkenal di kalangan
masyarakatnya.
Penjelasan keempat faktor di atas mempunyai suatu konklusi sementara kalau
ternyata perkawinan poligami ini diakui dan diterima sebagai satu bentuk
perkawinan dalam satu komunitas tradisional (suku). Sisi adat mengakui
eksistensi perkawinan ini. Perkawinan poligami yang terjadi dalam satu konteks
budaya tertentu, bagi para pelaku, hal itu tidak menunjukkan dekadensi
(kemerosotan) moralnya. Tetapi, sebalinya praktek itu yang malah membuat
dirinya sebagai orang yang terhormat dan disegani di mata masyarakatnya. Sekali
lagi ditegaskan bahwa perkawinan poligami umumnya dalam konteks budaya diakui
dan diterima sebagai satu bentuk perkawinan yang sah.
2. Menurut Gereja
Berbicara tentang pandangan Gereja terhadap perkawinan poligami pada
dasarnya selalu bercermin pada firman Tuhan di dalam Alkitab. Sebab itu,
pandangan Gereja sangat indentik dengan pandangan Alkitab, setelah ia
memahaminya dan merefleksikan dalam hidup dan pekerjaannya.
Dalam Pedoman
Pelayanan Gereja Kristen Injili Di Irian Jaya (sekarang di tanah Papua) Bab II
pasal 7 ayat 1 menyebutkan: “Suatu pernikahan/perkawinan Kristen dapat diterima
dan diakui sah apabila diberkati oleh Gereja.” Pernyataan ini, walau tidak
secara transparan, menyebut tentang perkawinan bentuk apa, apakah poligami atau
monogami? Namun, sangat jelas terlihat dalam prakteknya bahwa selama ini
bentuk perkawinan yang selalu diberkati oleh Gereja adalah monogami (satu
isteri). Ini diakui dan dianggap sah sebagai perkawinan Kristen. Sedangkan
perkawinan poligami tidak diakui untuk dilayani dalam ibadah pernikahan Gereja.
Selanjutnya, penjelasan tentang perkawinan orang Kristen menurut UU No. 1
Tahun 1974, yang diuraikan oleh S. A Manula, S.Th, dalam majalah “Pelita
Kristen”, edisi April-Mei 1986 no. 204, 205, tahun XVII bahwa pernikahan orang
Kristen adalah monogami, bukan poligami. Pernikahan ini diumpamakan kepala dan
tubuh; suami kepala dan isteri tubuhnya. Kepala yang satu ini mempunyai satu
tubuh pula. Dalam Injil Matius 19 menjelaskan bahwa oleh zinah (kawin dengan
perempuan selain dengan isterinya) maka pernikahan dapat diceraikan. Tetapi, bila
perceraian itu tidak memiliki alasan yang kuat lalu pergi beristeri dengan
perempuan lain maka ia telah berzinah (ayt. 8-10).
Bagi Gereja, di dalam perkawinan monogami terletak cinta kasih yang tulus
murni; sedangkan poligami cintanya menjadi terbagi. Ketika seorang laki-laki
memiliki dua orang isteri, cinta yang tulus dan murni pun terbagi menjadu
dua: 50% untuk yang satu dan 50% untuk yang lainnya, tidak lagi 100% untuk satu
yang dicintai. Apabila hal ini terjadi dalam satu rumah tangga, akibatnya yang
nampak ialah kecemburuan, perselisihan, pertengkaran bahkan sampai pada tingkat
kekerasan pembunuhan. Demikian dampak dari poligami itu.
Oleh karena itu, bertolahk dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa pada dasarnya Gereja (Agama Kristen) tidak menerima terjadinya perkawinan
poligami bagi setiap orang Kristen, karena melihat dari dampak-dampak negatif
yang akan muncul bagi keluarga, tetapi juga dapat mengarahkan pada demoralisasi
keluarga.
3. Menurut Alkitab
Alkitab tidak pernah mengajarkan kepada orang-orang percaya untuk
menikah secara poligami. Alkitab membuktikan secara nyata bahwa seorang
laki-laki yang berpoligami bukan ditentukan atau diatur oleh Allah, melainkan
oleh kecenderungan manusia itu sendiri. Akan tetapi, pertanyaan bagi kita,
kalau memang demikian, mengapa Allah seolah-olah mengizinkan manusia untuk
berpoligami pada zaman perjanjian lama. Misalnya kita lihat seperti Abraham,
Yakub, Elkana, Daud dan Salomo. Mereka ini adalah tokoh-tokoh spiritual yang
dipilih dan dipanggil Allah sebagai “alat”Nya dalam dunia. Lalu, mengapa mereka
harus bersikap demikian?
Memang dalam dunia sejarah Perjanjian Lama perkawinan poligami bertumbuh
subur di kalangan para rohaniwan Israel. Apakah Allah menghendaki perkawinan
poligami berlaku dalam hidup para rohaniwan? Tidak! Alkitab membuktikan pada
mulanya Allah telah menciptakan Undang-undang Perkawinan dalam Kejadian
2:24, yaitu perkawinan dengan rumusan 1+1=1 bukan 1+1+1=3; atau dengan kata
lain seorang laki-laki mengawini seorang perempuan hingga menjadi satu, bukan
mengawini dua orang perempuan sehingga menjadi tiga. Undang-undang perkawinan
monogami itu sebenarnya menjadi patokan perkawinan manusia, tetapi setelah
manusia jatuh dalam dosa, undang-undang itu tidak lagi di taati melainkan
dibuatnya menjadi poligami. Jadi, dalam hal ini manusialah yang mempunyai
sifat kecenderungan pada bentuk poligami itu, dan bukannya Allah. Di dalam diri
Allah tidak ada niat menjadikan manusia berpoligami melainkan monogami.
Kalau mungkin secara sepintas kita melihat dalam perjanjian lama
menyebutkan tentang poligami, maka untuk perjanjian baru sangat radikal menolak
bentuk perkawinan itu. Ketika Yesus hadir dalam dunia perjanjian baru, bentuk
poligami sangat keras ditantangNya. Kehadiran Yesus bukan saja membaharui
hubungan antara manusia dengan Allah, melainkan di dalamnya bentuk perkawinan
poligami dirombak dan dihapuskan; dan kemudian Ia menggantikannya dengan bentuk
perkawinan monogami. Matius 19:8 menjelaskan bahwa Yesus tidak mengakui
perkawinan poligami yang dulunya diizinkan oleh nabi Musa. Bagi Yesus, bukan
Musalah yang bersalah, melainkan oleh karena ketegaran Israel maka poligami
diberlakukan.
Setelah tokoh Yesus, mahaguru para rasul, seorang rasul terkemuka
perjanjian baru, Paulus, secara radikal dan transparan menolak poligami dalam
kehidupan dan persekutuan orang-orang percaya. Suratnya kepada Timotius di
Efesus ketika ditulisnya dari Roma, ia mengatakan bahwa seorang Kristen yang
hendak diangkat menjadi Penilik jemaat, hendaknya orang itu mempunyai satu
isteri (monogami) dan bukan poligami (lih. 1 Tim 3:1-7).
Dengan demikian, mulai dari poin 1-3 dimengerti kalau pandangan budaya
terhadap perkawinan poligami diakui sebagai salah satu bentuk perkawinan yang
dapat berlaku bagi setiap orang pada konteks tertentu. Sedangkan sebaliknya
pandangan Gereja dan Alkitab pada prinsipnya sangat kontradiktif dengan
pandangan yang pertama. Malah bentuk poligami dengan tegas ditolak untuk
diberlakukan dalam kehidupan dan persekutuan orang Kristen.
C.
ANALISA PERSOALAN
1.
Dua pertimbangan terhadap Poligami
Pada satu pihak
diakui bentuk perkawinan poligami mendatangkan akibat-akibat fatal kepada
pribadi dan keluarga. Sehingga sangat transparan kalau Gereja menolak bentuk
perkawinan itu untuk diberlakukan dalam kehidupan orang-orang Kristen. Lebih
jelas diuraikan beberapa akibat dari perkawinan poligami.
a. Dosa
Poligami adalah
melawan Allah, dosa, mengakibatkan kehidupan tidak ada kedamaian, yang ada
ialah pertengkaran (Rum 3:17; 6:23).
b. Pendidikan
anak-anak menjadi rusak
b.1 Tidak
ada waktu dan kesempatan untuk anak-anak.
b.2 Orang tua tidak mampu mendidik anak-anak
untuk bertumbuh secara fisik, moral dan iman.
b.3 Tidak
ada gairah, pengertian dan tanggung jawab yang baik.
b.4 Contoh yang baik, pendidikan yang baik tidak
lagi jelas. Tidak heran kalau anak-anaknya juga rusak kesucian, tabiat dan
rohaninya.
c. Rohani
dan hidup keluarga rusak
Dalam keluarga
timbul problema yang tidak ada habis-habisnya. Lihat rumah tangga Daud kacau
dan penuh krisis, sehingga anaknya sendiri, Absalom, melakukan kekerasan
membunuh ayahnya sendiri. Salomo mempunyai banyak isteri, walaupun berhikmat,
tetapi ia telah jatuh dalam dosa perzinahan (poligami).
d. Nafkah, kesehatan dan lain-lain rusak
Orang yang
menuruti daging akan mengalami banyak celaka dan kerusakan rohani dan jasmani
sampai akhirnya binasa.
2. Bertindak sebagai
Konselor
Apa yang mau
dibuat untuk menyelesaikan masalah perkawinan poligami, saat kita bertindak
sebagai konselo? Saya punya konsep langkah yang mungkin tidak terlalu memadai,
bila Anda hendak menggunakannya, walau saya percaya Anda pun punya
langkah-langkah yang lain. Tetapi, bagi saya, setidak-tidaknya langkah yang
saya kemukakan ini bisa menembah perbendaharaan langkah untuk menyelesaikannya.
Pertama, apabila praktek poligami hendak dilaksanaan oleh seorang lelaki, maka
tindakan konselor adalah mencari tahu faktor-faktor yang mengakibatkan sehingga
lelaki itu mau beristeri yang kedua kalinya. Setelah mendapat penyebab-penyebab
barulah konselor memulai dengan tindakan konselingnya.
Kedua, apabila poligami itu sudah lama terjadi dan mendatangkan dampak-dampak
negatif, maka di sinilah konselor hendaknya bukan menjauhkan diri dari mereka,
tetapi mencoba untuk menetralisir persoalan dalam rangka mengembalikan
kehidupan bahagia keluarga itu. Sebagai konselor (gereja) sudah harus tahu
bahwa orang yang berpoligami adalah umat ciptaan Allah, sama seperti kita,
karena itu ia harus ditolong. Apabila kita menolak mereka untuk ditolong masuk
dalam gereja Tuhan, berarti kita sedang menutup “pintu sorga” yang telah
dibukakan Allah bagi kita dan mereka. Selanjutnya, jika kita hanya mau menerima
seorang laki-laki dengan isterinya yang pertama bersama anak-anaknya, berarti
isteri/isteri-isteri yang lain harus diceraikan. Kalau tindakan ini yang
diambil maka akan menyalahi prinsip-prinsip etika Kristen, karena tindak sesuai
dengan hukum Kasih. Oleh karena itu, seorang konselor, siapapun orangnya,
harus menyadari beberapa hal di bawah ini.
a. Allah tidak menghendaki kita untuk menceraikan suatu
pasangan suami-isteri;
b. Kita tidak harus menjadi “hakim”, sekalipun keluarga
itu dibangun di atas dasar kekafiran;
c. Perceraian bukan jalan satu-satunya untuk mencapai
penyelesaian. Perceraian justru akan mengakibatkan keterlantaran bekas isteri
dan anak yang dilahirkannya; dan
d.
Bekas suami-isteri yang telah diceraikan itu oleh
dorongan nafsunya dapat menimbulkan dosa-dosa baru.
KESIMPULAN
Walaupun keluarga poligami tidak diakui eksistensinya dalam keabsahan
hukum, namun bagi Gereja (konselor) siap untuk melayaninya dengan kasih sayang,
sebagaimana Yesus melayani seorang perempuan Samaria yang berpoliandri di sumur
Yakub (Lih. Yoh 4:1-42). Konselor bukannya mengambil sikap menjauh dari mereka
sebagai pelaku poligami, tetapi merangkul mereka untuk mengakui kesalahan dan
membawa mereka berjumpa Yesus dalam kebenaran sejati.
Semoga
bermanfaat!!!!
0 komentar:
Posting Komentar